Materi Bab 4 Karya Pastoral Gereja - Agama Katolik Kelas 11 SMA/SMK Kurikulum Merdeka

Berikut adalah materi Bab 4 Karya Pastoral Gereja mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti kelas 11 SMA/SMK kurikulum merdeka.

Liturgi merupakan perayaan iman. Perayaan iman tersebut merupakan pengungkapan iman Gereja, di mana orang yang ikut dalam perayaan iman mengambil bagian dalam misteri yang dirayakan. Tentu saja bukan hanya dengan partisipasi lahiriah, tetapi yang pokok adalah hati yang ikut menghayati apa yang diungkapkan dalam doa. Kekhasan doa Gereja ini merupakan sifat resminya, sebab justru karena itu Kristus bersatu dengan umat yang berdoa. (bdk. SC artikel 48)

Doa dan ibadat merupakan salah satu tugas Gereja untuk menguduskan umatnya dan umat manusia. Tugas ini disebut tugas imamiah Gereja. Kristus Tuhan, Imam Agung, yang dipilih dari antara manusia menjadikan umat baru, “kerajaan imam-imam bagi Allah dan Bapa-Nya” (Why 1:6; bdk. 5:9-10).

Tidak ada keterpisahan antara hidup dan ibadat di dalam umat. Pengertian mengenai hidup sebagai persembahan dalam Roh dapat memerkaya perayaan Ekaristi yang mengajak seluruh umat, membiarkan diri diikutsertakan dalam penyerahan Kristus kepada Bapa. Dalam pengertian ini, perayaan Ekaristi sungguh-sungguh merupakan sumber dan puncak seluruh hidup kristiani.

Doa berarti berbicara dengan Tuhan secara pribadi. Doa juga merupakan ungkapan iman secara pribadi dan bersama-sama. Oleh sebab itu, doa-doa kristiani biasanya berakar dari kehidupan nyata. Doa selalu merupakan dialog yang bersifat pribadi antara manusia dan Tuhan dalam hidup yang nyata ini. Dalam dialog tersebut, kita dituntut untuk lebih mendengar daripada berbicara, sebab firman Tuhan akan selalu menjadi pedoman yang menyelamatkan. Bagi umat kristiani, dialog ini terjadi di dalam Yesus Kristus, sebab Dialah satu- satunya jalan dan perantara kita dalam berkomunikasi dengan Allah. Perantara ini tidak mengurangi sifat dialog antar-pribadi dengan Allah.

Peranan dan fungsi doa bagi orang kristiani, antara lain: mengomunikasikan diri kita kepada Allah; memersatukan diri kita dengan Tuhan; mengungkapkan cinta, kepercayaan, dan harapan kita kepada Tuhan; membuat diri kita melihat dimensi baru dari hidup dan karya kita, sehingga menyebabkan kita melihat hidup, perjuangan dan karya kita dengan mata iman; mengangkat setiap karya kita menjadi karya yang bersifat apostolis atau merasul.

Syarat dan cara doa yang baik: didoakan dengan hati; berakar dan bertolak dari pengalaman hidup; diucapkan dengan rendah hati.

Cara-cara berdoa yang baik: berdoa secara batiniah. “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamar …” (lih. Mat 6:5-6). Berdoa dengan cara sederhana dan jujur, “Lagi pula dalam doamu janganlah kamu bertele-tele … “ (lih. Mat 6: 7).

Doa resmi Gereja. Orang boleh saja berdoa secara pribadi atas nama pribadi dan berdoa bersama dalam suatu kelompok atas nama kelompok. Doa-doa itu tidak mewakili seluruh Gereja. Tetapi doa, di mana suatu kelompok berdoa atas nama dan mewakili Gereja secara resmi, doa kelompok yang resmi itu disebut ibadat atau liturgi. Hal yang pokok bukan sifat “resmi” atau kebersamaan, melainkan kesatuan Gereja dengan Kristus dalam doa. Dengan demikian, liturgi adalah “karya Kristus, Imam Agung, serta tubuh-Nya, yaitu Gereja”. Oleh karena itu, liturgi tidak hanya merupakan “kegiatan suci yang sangat istimewa”, tetapi juga wahana utama untuk mengantar umat kristiani ke dalam persatuan pribadi dengan Kristus (SC artikel 7).

Semua umat mengambil bagian dalam imamat Kristus untuk melakukan suatu ibadat rohani demi kemuliaan Allah dan keselamatan manusia. Yang dimaksudkan dengan ibadat rohani adalah setiap ibadat yang dilakukan dalam Roh oleh setiap orang kristiani. Dalam urapan Roh, seluruh hidup orang kristiani dapat dijadikan satu ibadat rohani. “Persembahkan tubuhmu sebagai korban hidup, suci, dan berkenan kepada Allah. Itulah ibadat rohani yang sejati” (Rm 12:1). Dalam arti ini, konstitusi Lumen Gentium menandaskan: “Semua kegiatan mereka, doa dan usaha kerasulan hidup suami-istri dan keluarga, kegiatan sehari- hari, rekreasi jiwa raga, jika dilakukan dalam Roh, bahkan kesulitan hidup, bila diderita dengan sabar, menjadi korban rohani, yang dapat diterima Allah dengan perantaraan Yesus Kristus (bdk. 1Ptr 2:5). Dalam perayaan Ekaristi, korban ini dipersembahkan dengan sangat hikmat kepada Bapa, bersama dengan persembahan tubuh Tuhan” (Lumen Gentium, artikel 34).

B. Gereja yang Mewartakan (Kerygma)

Perintah resmi Kristus itu mewartakan kebenaran yang menyelamatkan itu oleh Gereja diterima dari para rasul, dan harus dilaksanakan sampai ujung bumi (lih. Kis 1:8). Maka Gereja mengambil alih sabda rasul: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil!” (1Kor 9:16). Maka dari itu Gereja terus-menerus mengutus para pewarta, sampai Gereja-Gereja baru terbentuk sepenuhnya, dan mereka sendiripun melanjutkan karya pewartaan Injil...” (LG. artikel 17).

Dalam mewartakan sabda Allah, kita dapat mewartakannya secara verbal melalui kata-kata (kerygma), tetapi juga dengan tindakan nyata.

Pewartaan verbal pada dasarnya merupakan tugas hierarki, tetapi para awam diharapkan untuk berpartisipasi dalam tugas ini, misalnya sebagai katekis, guru agama, fasilitator pendalaman Kitab Suci, dsb.

Kita mempunyai tanggung jawab besar untuk berani mewartakan iman Katolik. Iman kebenaran bagi dunia yang penuh kegelapan. Banyak anak muda zaman kini yang hidupnya dilanda budaya dan isme-isme yang berdampak buruk bagi hidupnya, sebagai contoh budaya hedonisme, konsumerisme, relativisme, masa bodoh dengan agamanya sendiri. Dan sekarang adalah waktunya dimana kita semua sebagai orang muda Katolik mampu melawan arus buruk tersebut dengan mengejar kekudusan hidup.

C. Gereja yang Menjadi Saksi Kristus (Martyria)

Menjadi saksi tidaklah mudah. Ia harus kredibel dan sungguh-sungguh menyaksikan peristiwa yang terjadi. Ia juga harus punya dasar dan bukti atas kesaksiannya. Datanya tepat dan bukan hanya “kata orang” atau hoax.

Kita tidak pernah melihat langsung Yesus dan tidak melihat langsung karya Yesus sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Suci namun dalam pengalaman ketika ada doa penyembuhan yang dibawakan oleh seorang romo seperti dalam kisah tadi dimana ia melihat sendiri seorang romo yang stroke bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Ada seorang anak yang kesulitan bernapas sepanjang hari, lalu datang ke pastoran dan didoakan dalam nama Tuhan Yesus, langsung bernapas dengan lancar. Itulah pengalaman iman sang pencerita yang menjadi saksi atas karya Tuhan. Kita bisa menjadi saksi Kristus ketika kita menemukan pengalaman- pengalaman iman dalam kehidupan kita.

Kita sendiri juga mempunyai pengalaman masing-masing menjadi saksi Kristus dalam hidup sehari-hari dalam bentuk kata-kata dan perbuatan yang mencerminkan diri kita sebagai pengikut Yesus. Apakah kita berani menunjukkan identitas kita sebagai orang Katolik, misalnya dengan membuat tanda salib ketika memulai dan mengakhiri suatu kegiatan. Itu sekadar salah satu contoh sederhana yang mejadi ciri orang Katolik.

Menjadi saksi Kristus akan menuai banyak risiko seperti yang dialami Stefanus, martir pertama, dan para martir atau saksi Kristus lainnya di sepanjang segala abad.

Menjadi saksi Kristus berarti menyampaikan atau menunjukkan apa yang dialami dan diketahuinya tentang Yesus Kristus kepada orang lain. Penyampaian penghayatan dan pengalaman akan Yesus itu dapat dilaksanakan melalui kata- kata, sikap, dan perbuatan nyata.

Menjadi saksi Kristus ternyata dapat menuai banyak risiko. Yesus telah berkata: “Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah (Yoh 16:2). Yesus sendiri telah menjadi martir. Ia menderita dan wafat di salib demi Kerajaan Allah.

Dalam sejarah, kita juga tahu bahwa banyak orang telah bersedia menumpahkan darahnya demi imannya akan Kristus dan ajaran-Nya. Mereka mati demi imannya kepada Kristus. Banyak yang bersedia mati daripada harus mengkhianati imannya akan Kristus. Ada pula martir yang mati karena memerjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi orang-orang yang tertindas.

D. Gereja yang Membangun Persekutuan (Koinonia)

Umat dari KBG atau wilayah St. Kristoforus, paroki St Paulus Depok sebagai sebuah komunitas umat beriman kristiani merasa terpanggil untuk membantu sesamanya yang sangat membutuhkan pertolongan. Semangat persaudaraan dan solidaritas diwujudkan dengan cara berbagi apa yang mereka miliki dan tenaga untuk bersama- sama bekerja gotong royong membangun rumah salah satu warganya.

Semangat persaudaraan, solidaritas dan gotongroyong dalam komunitas umat beriman kristiani tetap hidup dan berkobar hingga saat ini ketika negeri kita dan dunia mengalami bencana pandemi COVID-19. Umat saling bahu membahu memerhatikan anggota umat yang terdampak langsung COVID-19.

Pengertian KBG, menurut Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) tahun 2000 adalah cara hidup berdasarkan iman, jumlah anggotanya tidak terlalu banyak, komunikasi terbuka antar-anggota dalam semangat persaudaraan, membangun solidaritas dengan sesama, khususnya dengan saudara yang miskin dan tertindas. Inspirasi dasar pemahaman demikian adalah teladan hidup jemaat perdana sehingga komunitas basis merupakan Gereja mini yang hidup dinamis dalam pergumulan iman. Dengan cara seperti ini, diyakini bahwa kehadiran Gereja bisa lebih mengakar, lebih kontekstual dan mampu menjalankan perannya untuk menjadi terang dan menggarami dunia seturut irama zaman.

SAGKI 2000 mengakui bahwa sebagai bagian integral dari bangsa, umat Katolik Indonesia sepenuhnya ikut menghadapi permasalahan dan tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, seperti reformasi,situasi penuh ketakutan dan penderitaan. Peserta sidang berkeyakinan bahwa KBG merupakan jawaban yang tepat untuk pertanyaaan: “Bagaimana kita umat Katolik sebagai warga masyarakat melibatkan diri dalam pergumulan bangsa ini mewujudkan Indonesia baru yang lebih adil, lebih manusiawi,lebih damai dan memiliki keputusan hukum?”

Gambaran tentang persekutuan umat atau komunitas basis model jemaat perdana (Kis 4:32-37) dapat menjadi model atau cermin bagi kita untuk membangun persekutuan umat atau komunitas basis, atau lingkungan rohani atau apapun istilahnya sesuai kebiasaan Gereja setempat atau Gereja lokal.

Model komunitas umat perdana itu tidak dimaksudkan hanya untuk kelompok kecil umat saja, tetapi sesungguhnya model hidup (gaya hidup) jemaat perdana itu juga merupakan patron dan acuan untuk model atau cara hidup Gereja (umat beriman) sepanjang waktu, partikular maupun universal. Artinya bahwa cara hidup jemaat perdana itu juga tetap merupakan cita-cita yang terus-menerus diupayakan, diperjuangkan dan diwujudkan oleh umat beriman sepanjang waktu.

Ciri-ciri utama cara hidup jemaat perdana itu nampak sangat menonjol dalam lima hal yaitu adanya:
  • persaudaraan/persekutuan,
  • mendengarkan sabda/pengajaran,
  • pelayanan terhadap sesama/solidaritas,
  • perayaan iman/pemecahan roti/doa, dan
  • memberi kesaksian iman (tentang Tuhan) melalui cara hidup mereka.

Karena cara hidup mereka itu, mereka disukai semua orang, jumlah mereka makin lama makin bertambah dan mereka sangat dihormati orang banyak.

E. Gereja yang Melayani (Diakonia)

Sebagian besar penghuni panti Rukmi adalah para orang tua usia lanjut yang tidak mampu mengurus diri sendiri. Ada juga yang dirawat karena sakit. Sebagian datang dari latar belakang ekonomi mampu, namun karena kesibukan, anak- anak mereka tidak sempat untuk merawat orang tuanya. Namun, kebanyakan penghuni berasal dari keluarga dengan ekonomi yang kurang beruntung.

Keprihatinan: kebanyakan orang pada masa tuanya kurang mendapatkan kasih sayang maupun perhatian dari keluarga, saudara, ataupun kerabat.

Para suster memilih melakukan pelayanan bagi para manula melalui Panti Rukmi. Melalui karya ini, para suster mau menunjukkan kepedulian kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir, khususnya para lansia.

Yesus mengajarkan kita untuk saling melayani dengan kerendahan hati. Demikian halnya sebagai pemimpin. Seorang pemimpin dipilih untuk melayani umat atau masyarakat dan bukan sebaliknya untuk dilayani.

Dasar pelayanan dalam Gereja adalah semangat pelayanan Kristus sendiri. Yesus berkata, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena anak manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa- Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”

Ciri-ciri pelayanan Gereja adalah bersikap sebagai pelayan, setia pada Yesus Kristus, perhatian pada orang miskin dan yang tersingkirkan dalam kehidupan masyarakat serta selalu bersikap rendah hati sebagai murid-murid Yesus.