Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

Apakah jemaah yang sedang haid boleh berziarah kemakam Rasulullah saw?

Para ulama telah bersepakat bahwa ber-ziarah ke makam Rasulullah saw merupakan amalan yang disyari'atkan dan termasuk upaya mendekatkan diri kepada Allah (qurbah) yang sangat mulia, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Bahkan al- Nawawi mengategorikannya sebagai amalan sunnah mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan). Jika ada pendapat yang menolak hal tersebut, dapat dipastikan bahwa pendapat tersebut tidak benar. Perlu diketahui oleh para jemaah bahwa lokasi makam Rasulullah saw dewasa ini berada di dalam Masjid Nabawi, tepatnya di bawah kubah hijau. Berziarah ke makam Rasulullah saw berarti harus memasuki bagian dalam Masjid Nabawi. Apalagi pihak otoritas Kerajaan Saudi Arabia menerapkan prosedur berbeda antara jemaah perempuan dan laki-laki yang akan berziarah. Jika jemaah laki-laki bisa hanya cukup melintas di dalam masjid tepatnya di sebelah barat makam, maka jemaah perempuan tidak bisa hanya melintas seperti yang dilakukan jemaah laki-laki. Mereka harus mengantri terleb

Bagaimana hukum perempuan yang akan atau sedang melaksanakan wuquf di Arafah mengalami haid?

Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian manasik haji maupun umrah hakikatnya perbuatan mendekatkan diri kepada Allah (qurbah). Menurut para ulama, qurbah dibagi menjadi dua macam. Pertama, qurbah yang disyari'atkan wajib dilakukan dalam kondisi thaharah. Kedua, qurbah yang disunahkan untuk dilaksanakan dalam kondisi thaharah. Seluruh rangkaian manasik haji dan umrah tergolong qurbah yang sunah untuk dikerjakan dalam keadaan thaharah, kecuali thawaf. Berdasarkan hal tersebut, Ibn al- Mundzir—salah seorang ulama madzhab Syafi'i, dengan sangat tegas menyebutkan, para ulama telah bersepakat bahwa seseorang boleh dan sah melakukan wuquf di Arafah walau tidak dalam keadaan memiliki thaharah, bahkan ketika junub, haid maupun hadas yang lain. Sekalipun boleh melakukan wuquf tidak dalam kondisi thaharah, jemaah perempuan yang tidak sedang haid disunahkan untuk tetap dalam keadaan thaharah (memiliki  wudhu), sehingga wuqufnya menjadi lebih sempurna. Hal ini sebagaimana yang disampaikan ol

Bagaimana cara perempuan memotong rambut ketika akan bertahallul?

Menurut para ulama, terdapat perbedaan cara antara perempuan dan laki-laki ketika akan ber-tahallul. Bagi perempuan, makruh hukumnya mencukur seluruh rambut. Mencukur seluruh rambut hanya disunahkan bagi laki- laki. Jika ada perempuan yang mencukur rambut, dia dianggap telah menyerupai laki-laki (tasyabbuh bi al-rijal). Adapun cara sunah bagi perempuan ketika akan ber-tahallul adalah dengan memotong rambut, bukan mencukur. Cara memotong rambut yang dianjurkan bagi perempuan adalah memotong bagian ujung rambut seukuran satu jari pada seluruh sisi kepala. Seandainya dia tidak ingin memotong rambut di semua sisi seukuran jari, maka hal tersebut tidak dilarang. Jumlah minimum helai rambut yang harus dipotong sebanyak tiga helai. Apabila kurang dari tiga helai, maka dia belum menunaikan salah satu rukun haji atau umrahnya. Dalam arti kata, dia dianggap belum ber-tahalullul. Oleh karena itu, helai rambut yang dipotong minimum tiga helai agar dia bisa terbebas dari seluruh larangan ihram.

Apakah seseorang boleh meneruskan sa'i ketika mengalami haid setelah menyelesaikan thawaf?

Tidak ada satu pun dalil yang melarang perempuan haid untuk melakukan sa'i. Pada prinsipnya, seluruh rangkaian ibadah haji boleh dilaksanakan dalam keadaan berhadas kecil maupun besar, kecuali thawaf. Menurut para ulama, ketika seorang perempuan telah menuntaskan rangkaian thawafnya, kemudian dia mengalami menstruasi, maka dia boleh melanjutkan sa'inya. Sa'i yang dia lakukan tetap dianggap sah meskipun dalam keadaan haid. Karena menurut mayoritas ulama, thaharah dari hadas bukan menjadi syarat keabsahan untuk menunaikan sa'i. Namun demikian, perempuan yang tidak sedang haid tetap disunahkan bersa'i dalam keadaan memiliki thaharah. Hal ini disebabkan karena sa'i tergolong praktik ibadah dan upaya mendekatkan diri kepada Allah (qurbah). Seluruh ibadah dan qurbah sunah dilakukan dalam keadaan memiliki wudhu.

Apakah seseorang harus membayar fidyah jika ada helai rambut yang rontok atau patah ketika dia menyisir rambut atau menggaruk kepala ketika sedang ihram?

Menurut Imam al-Nawawi, orang yang sedang ihram dimakruhkan untuk menyisir rambut menggunakan sisir. Alasannya, perbuatan tersebut berpotensi mengakibatkan rambut tercabut atau rontok. Demikian halnya jika seseorang merasakan gatal di bagian kepala, hendaknya dia tidak menggaruknya dengan kuku. Garukan dengan kuku juga berpotensi mengakibatkan rambut tercerabut atau rontok. Larangan menyisir rambut menggunakan sisir-demikian pula menggaruk dengan kuku ketika ihram didasarkan pada prinsip sadd li dzari'ah, yaitu menutup celah kemungkinan terjadinya pelanggaran yang diakibatkan sebuah perbuatan. Mengingat salah satu larangan ihram yang harus dihindari adalah memotong atau mencabut rambut. Jika seseorang ingin merapikan rambutnya pada saat ihram, sebaiknya cukup menggunakan jari jemari, bukan menggunakan sisir. Begitu pula jika ingin menggaruk bagian kepala yang gatal, hendaknya menggunakan sisi dalam jari jemari (bagian dalam telapak tangan), bukan langsung dengan kuku. Sekalipun huk

Apa hukum memakai minyak wangi di pakaian sebelum ihram dan masih membekas ketika sudah berihram?

Pada prinsipnya, boleh hukumnya memakai minyak wangi di pakaian sebelum berihram. Menurut pendapat yang paling shahih di kalangan ulama madzhab  Syafi'i, seseorang tidak dilarang memakai minyak wangi di pakaian sebelum berihram sekalipun bekasnya aromanya masih dijumpai setelah dia dalam kondisi ihram. Sekalipun hukumnya boleh, namun ada hal yang harus diperhatikan oleh orang yang menyemprot pakaiannya dengan parfum sebelum ihram. Hendaknya dia tidak melepas pakaian yang telah dibubuhi minyak wangi tersebut. Apabila dia menanggalkan pakaian itu dan memakainya lagi ketika dalam kondisi ihram, maka dia harus membayar fidyah. Perbuatan tersebut dikategorikan seperti memakai baju yang diberi minyak wangi setelah berihram. Memang ada pendapat yang mengatakan tidak perlu membayar fidyah, karena tergolong perbuatan yang dimaafkan (ma' fuw 'anhu). Namun pendapat ini dianggap lemah. Pendapat yang lebih kuat menyebutkan, seeorang boleh menyemprotkan minyak wangi di pakaian sebelum ihram

Apakah pakaian ihram perempuan harus berwarna putih?

Menurut para ulama, pakaian atau kain yang paling baik bagi orang yang berihram adalah yang berwarna putih.  Hukum mengenakan pakaian berwarna putih hukumnya adalah sunah. Alasannya tidak lain adalah ittiba', yakni mengikuti apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh Rasulullah saw. Dengan kata lain, seseorang juga boleh mengenakan busana atau kain ihram yang tidak berwarna putih. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Rasulullah saw pernah melakukan thawaf dengan mengenakan kain berwarna hijau. Di samping berwarna putih, Imam al- Syafi'i juga menganjurkan orang yang berihram untuk mengenakan pakaian baru. Jika tidak ada yang baru, hendaknya sese- orang mengenakan pakaian lama yang telah dicuci bersih. Artinya, jemaah tidak perlu memaksakan diri untuk membeli busana baru jika memang tidak sedang dalam kondisi berlebih. Boleh menggunakan pakaian putih lama, asalkan dicuci bersih sebelum dipakai untuk ihram. Tidak benar jika ada sebagian orang yang berkeyakinan bahwa pakaian i