Pemikiran Rasyid Ridha tentang Pembaruan Islam

Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsudin bin Baha’uddin al-Qalmuni al-Husaini atau biasa dikenal Rasyid Ridha, lahirkan di Qalamun, yang tidak jauh dari Kota Tripoli Lebanon pada tanggal 23 September 1865 M.

Ridha termasuk anak yang rajin. Pada saat itu, anak-anak seusianya asyik main, ia justru menghabiskan waktunya untuk membaca buku.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Qalamun, ia melanjutkan belajarnya di Madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli.

Latar belakang pemikiran Ridha adalah tuntutan zaman yang menuntut adanya perubahan. Pada masa itu kondisi umat Islam berada pada posisi yang sangat buruk, kemunduran di berbagai bidang.

Dalam pemikirannya, Ridha terpengaruh dengan pemikiran dari Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Setelah Jamaludin al-Afghani wafat, Ridha ingin sekali bertemu Muhammad Abduh untuk belajar langsung dan mengetahui pandangannya tentang reformasi Islam. Kemudian, pada tahun 1897, Ridha bertemu dengan Muhammad Abduh.

Atas persetujuan Abduh, Ridha menerbitkan majalah  al-Manar. Tujuan penerbitan tersebut adalah untuk menjadi corong bagi gerakan pembaruan Islam dalam memajukan umat Islam dan membebaskan dari belenggu penjajah.

Berikut adalah pokok-pokok pemikiran Rasyid Ridha dalam Pembaruan Islam:
  1. Kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan adalah karena umat Islam yang berpaling dari ajaran-ajaran Islam, karenanya umat Islam dalam mengejar ketertinggalan dari bangsa Eropa dengan satu syarat, yaitu harus kembali kepada ajaran Islam sebenarnya yang diajarkan Rasulullah Saw. dan dipraktikkan oleh para sahabat;
  2. Penyebab lain kemunduran umat Islam adalah merebaknya paham fatalisme di dunia Islam. Padahal, ajaran agama Islam sejatinya mendorong umatnya bersifat dinamis;
  3. Ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan agama Islam. Karena itu, sudah sepantasnya umat Islam yang mendambakan kemajuan, harus siap mempelajari ilmu-ilmu modern. Bahkan, belajar ilmu modern sebenarnya adalah mengambil kembali pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam;
  4. Hukum-hukum fiqih yang berkenaan dengan kemasyarakatan tidak boleh dianggap absolut. Hukum-hukum itu ditetapkan sesuai dengan tempat dan zaman. Karenanya, Ridha menganjurkan untuk berijtihad. Menurutnya, ijtihad sebagai modal awal demi keberlangsungan syariat Islam yang memenuhi seluruh kebutuhan pembaruan;
  5. Apabila umat Islam ingin maju, maka umat Islam harus terlebih dahulu mewujudkan persatuan dan kesatuan.

Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha ini merupakan tonggak sejarah dalam perjalanan pembaruan Islam. Dalam menghadapi kondisi buruk umat Islam pada masanya, beliau mendorong untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejati dan dinamis. Ridha juga merintis jalan untuk memahami bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan Islam, bahkan seharusnya menjadi bagian dari kemajuan umat Islam. Pendiriannya terhadap ijtihad sebagai alat pembaruan dan penyesuaian hukum sesuai konteks dan zaman tetap relevan hingga hari ini.

Baginya, persatuan dan kesatuan umat Islam adalah kunci untuk meraih kemajuan. Melalui pemikiran-pemikirannya yang progresif, Muhammad Rasyid Ridha telah memberikan inspirasi bagi gerakan pembaruan Islam yang berlanjut hingga generasi-generasi selanjutnya.