Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Dalam Pembaharuan Islam

KH. Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1868 dari pasangan KH. Abu Bakar bin Haji Sulaiman dengan Siti Aminah binti KH. Ibrahim.

Menurut sumber lain, misalnya Prof. Abdul Munir Mulkhan, Kiai Dahlan lahir pada tahun 1869. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ia baru dipanggil Ahmad Dahlan setelah pulang dari menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu.

Kiai Dahlan belajar Al-qur’an dan berbagai dasar keislaman langsung dengan bapaknya yang juga sebagai ketib (khatib) di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dan masih keturunan Sunan Giri. Selain belajar dengan bapaknya, Dahlan juga belajar dengan KH. Muhammad Saleh, Kiai Muhammad Nur, KH. Abdul Hamid, Kiai Muhsin (Yogyakarta) dan KH. Sholeh Darat (Semarang). Waktu belajar dengan KH. Sholeh Darat bersama KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.

Pada saat itu Kiai Dahlan umurnya lebih tua daripada Kiai Hasyim. Karenanya, Kiai Dahlan memanggil Kiai Hasyim dengan Adik. Sebaliknya Kiai Hasyim memanggil dengan Mas (Kakak).

Tidak puas belajar di dalam negeri, Kiai Dahlan melanjutkan menimba ilmu ke Makkah. Di antara gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Nahrawi al-Banyumasi, Syaikh Bakri as-Syatha, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Mahfudz at-Tarmasi, dan pernah bertukar pikiran langsung dengan Rasyid Ridha. Selama belajar di Makkah, Dahlan mempelajari tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh secara tekun dan serius.

Melalui perkenalannya dengan para pembaru, kemudian meresap ke dalam jiwa Dahlan. Ide tersebut kemudian digabungkan dengan dasar ilmu-ilmu yang didalaminya di Makkah. Pada akhirnya, pertautan dari semua komponen tersebut mendorong melakukan melakukan perubahan-perubahan yang berarti dalam kehidupan keagamaan kaum muslim di Indonesia. 

Salah satu kesuksesan pembaruannya ditandai dengan berdirinya organisasi masyarakat yang bernama Muhammadiyah di Indonesia pada tanggal 18 November 1912.

Berikut adalah pokok-pokok pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam pembaharuan islam:
  1. Tujuan utama pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berbudi luhur, alim dalam agama, memiliki pandangan luas, dan paham tentang masalah ilmu keduniaan. Untuk menererapkannya, perlu diajarkan ilmu agama dan umum di madrasah Muhammadiyah;
  2. Pendidikan harus mencetak manusia-manusia yang berjiwa nasionalisme dan patriotisme, sehingga bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat;
  3. Materi pendidikan harus meliputi pendidikan moral dan akhlak, pendidikan individu, dan pendidikan kemasyarakatan;
  4. Model pendidikan memadukan dua jenis pendidikan, yaitu pesantren dan sekolah umum. Dalam pengajarannya menggabungkan antara sistem pengajaran pesantren dengan pendidikan Barat. Usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga pendidikan yang bersifat spesifik, yaitu mengadopsi sistem persekolahan Barat, tetapi dimodifikasi sedemikian rupa sehingga berjiwa nusantara yang mempunyai misi Islami. Selain itu, Kiai Dahlan juga mendirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyyah, Kepanduan Hizbul Wathan bagi kalangan angkatan muda. Dalam bidang pendidikan, Kiai Dahlan diantaranya mendirikan sekolah calon guru Al-Qismul Arqa, Mu’allimin, Mu’allimat Muhammadiyyah, tabligh school dan  Kulliyah  Muballighin. Dalam mengelola organisasi, KH. Ahmad Dahlan menerapkan sistem administrasi dan organisasi seperti halnya lembaga modern. Manajemen amal usaha pendidikan ditata agar berada di bawah organisasi, bukan milik pribadi. Dalam pemikirannya tidak terlepas dari Al-qur’an dan Hadis.

Melalui perjalanan hidupnya yang panjang, KH. Ahmad Dahlan mengukir warisan berupa pemikiran-pemikiran yang membawa perubahan signifikan dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Dari pendidikan hingga organisasi, beliau menjalani perjuangan untuk membangun masyarakat yang berakhlak mulia, cinta tanah air, dan berpegang teguh pada Islam.

Dengan berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912, beliau mengukuhkan visinya untuk membawa Islam berdaya saing dalam peradaban dunia. Oleh karena itu, pemikiran KH. Ahmad Dahlan adalah sumber inspirasi yang tak pernah pudar bagi kita dalam merajut masa depan Islam di Indonesia yang lebih baik.