Makalah Sengketa Batas Wilayah Antara Indonesia dan Malaysia PPKn Kelas 10 SMA/SMK

Berikut adalah makalah tentang “Sengketa Batas Wilayah Antara Indonesia dan Malaysia” mata pelajaran PPKn Kelas 10 SMA/SMK.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sengketa mengenai batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia telah menjadi isu yang berlarut-larut selama beberapa waktu. Meskipun demikian, kedua negara ini sering mencari solusi damai dalam menghadapi permasalahan ini.

Pada tahun 1970-an, Indonesia dan Malaysia telah mencapai beberapa perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) untuk menyelesaikan sengketa ini. Beberapa di antaranya adalah MoU yang ditandatangani di Jakarta pada 26 November 1973, Pertemuan Pertama Joint Malaysia-Indonesia Boundary Committee pada 16 November 1974, serta Pertemuan Kedua Joint Indonesia-Malaysia Boundary Committee di Bali pada 7 Juli 1975.

Pada tahun 2000, mereka juga melakukan survei bersama untuk memastikan batas wilayah, sebagai kelanjutan dari perjanjian tahun 1975. Namun, perlu dicatat bahwa sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia ini berasal dari sejarah masa kolonial dan melibatkan negara-negara lain.

Sejarah ini telah mempengaruhi pendekatan dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Dalam hukum internasional, ada prinsip uti possidetis juris yang mengakui bahwa negara baru mewarisi wilayah dan aset dari penguasa sebelumnya. Dalam hal ini, Indonesia mewarisi wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda, sementara Malaysia mewarisi wilayah yang dikuasai oleh Inggris. Prinsip ini diterima secara luas dalam komunitas internasional dan telah diterapkan dalam banyak negara yang pernah menjalani masa kolonial.

Selain itu, ada juga prinsip hukum internasional pacta tertiis nec nocent nec prosunt, yang berarti bahwa suatu perjanjian tidak memiliki dampak atau kewajiban pada pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut. Dengan demikian, Indonesia dan Malaysia tidak dianggap memiliki hak atau kewajiban terkait Traktat London yang menjadi dasar hukum dalam menentukan batas wilayah.

B. Rumusan Masalah

Dalam konteks sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia, beberapa pertanyaan yang perlu dijawab untuk memahami situasi ini adalah sebagai berikut:
  1. Apa sebab utama terjadinya sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia?
  2. Bagaimana cara kedua negara berusaha menyelesaikan sengketa ini selama dekade 1970-an?
  3. Apa yang dimaksud dengan konsep uti possidetis juris dalam konteks sengketa ini, dan mengapa konsep ini penting dalam hukum internasional?
  4. Bagaimana peran Traktat London dalam menentukan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia?
  5. Apa arti dari prinsip hukum internasional pacta tertiis nec nocent nec prosunt, dan bagaimana hal ini terkait dengan sengketa ini?

C. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk:
  1. Menganalisis akar sejarah sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia.
  2. Menjelaskan upaya damai yang dilakukan oleh kedua negara dalam menyelesaikan sengketa ini selama dekade 1970-an.
  3. Memahami konsep uti possidetis juris dan pentingnya dalam konteks sengketa batas wilayah internasional.
  4. Menggambarkan peran Traktat London sebagai dasar hukum dalam menentukan batas wilayah di Pulau Kalimantan.
  5. Menguraikan prinsip hukum internasional pacta tertiis nec nocent nec prosunt dan implikasinya dalam penyelesaian sengketa ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Jejak Sejarah Sengketa Batas Wilayah Indonesia - Malaysia

Masalah sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia telah berlangsung lama. Namun demikian, kedua negara seringkali menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai.

Sejak dekade 1970-an, telah disepakati beberapa Memorandum of Understanding (MoU), yakni MoU antara Indonesia-Malaysia di Jakarta pada 26 November 1973, Minutes of the First Meeting of the Joint Malaysia-Indonesia Boundary Committee pada 16 November 1974, serta Minutes of the Second Meeting of the Joint Indonesia-Malaysia Boundary Committee di Bali, pada 7 Juli 1975.

Tahun 2000 dilakukan penegasan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia dalam bentuk Joint Survey on Demarcation, yang merupakan tindak lanjut dari perjanjian tahun 1975. Namun demikian, perjanjian damai antara Indonesia dan Malaysia dalam kasus sengketa batas wilayah ini sebenarnya memiliki akar sejarah yang melibatkan negara lain, sejak masa kolonialisme.

Situasi itu mempengaruhi terhadap bagaimana penyelesaian sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Dalam hukum internasional, dikenal istilah uti possidetis juris, yang populer sejak MoU 1973. Uti possidetis juris adalah suatu negara yang baru dapat mewarisi kekayaan dan wilayah negara penguasa sebelumnya. Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa Indonesia mewarisi wilayah Belanda, sedangkan Malaysia mewarisi wilayah Inggris. Hal ini lumrah dan menjadi kebiasaan yang diakui secara internasional, dan diterapkan di banyak negara bekas jajahan.

Pada masa sebelum Indonesia dan Malaysia merdeka, terdapat pula produk hukum internasional, yang dikenal dengan Traktat London. Hukum internasional dalam bentuk traktat ini masih dipakai oleh Indonesia maupun Malaysia sebagai dasar hukum dalam menentukan batas wilayah di Pulau Kalimantan.

Ada pula asas hukum internasional pacta tertiis nec nocent nec prosunt, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak atau membebani kewajiban kepada pihak yang tidak terikat kepada perjanjian tersebut. Artinya, Indonesia dan Malaysia tidak dianggap berhak memiliki serta tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas Traktat London.

B. Dasar Hukum Batas Wilayah Periode Kemerdekaan

Berikut penjelasan dasar hukum kesepakatan patok batas wilayah Indonesia dan Malaysia, sejak masa penjajahan hingga kemerdekaan.

a. Konvensi Belanda-Inggris tahun 1891
Belanda dan Inggris menandatangani perjanjian ini pada 20 Juni 1891 di London. Konvensi ini mengatur banyak hal menyangkut penentuan batas wilayah, seperti penentuan watershed dan hal-hal lain yang menyangkut kasus sengketa wilayah.

b. Kesepakatan Belanda-Inggris tahun 1915
Belanda dan Inggris menyepakati atas hasil laporan bersama tentang penegasan batas wilayah pada 28 September 1915 di Kalimantan. Kesepakatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan MoU oleh kedua belah pihak berdasarkan Traktat 1891, lalu dikokohkan di London pada 28 September 1915.

c. Konvensi Belanda-Inggris tahun 1928
Belanda dan Inggris menandatangani kesepakatan ini pada 28 Maret 1928 di Den Haag. Kemudian diratifikasi oleh kedua negara pada 6 Agustus 1930. Konvensi ini mengatur tentang penentuan batas wilayah kedua negara di daerah Jagoi, antara gunung raya dan gunung api, yang menjadi bagian dari Traktat 1891.

d. MoU Indonesia dan Belanda tahun 1973
Dokumen ini mengacu pada hasil konvensi-konvensi sebelumnya, 1891, 1915, dan 1928. Di dalamnya juga berisi kesepakatan-kesepakatan tentang penyelenggaraan survei dan penegasan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia, yang terdiri dari organisasi he Joint Technical Committee, penentuan area prioritas, prosedur survei, tahapan pelaksanaan, pembiayaan, dukungan satuan pengamanan, logistik dan komunikasi, keimigrasian, dan ketetuan bea dan cukai.

Karena alasan yang kompleks itulah, Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945 mengarahkan agar dibuat regulasi berupa undang-undang dalam menentukan batas wilayah. Undang-Undang ini dapat dijadikan pedoman dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia, memperjuangkan kepentingan nasional dan keselamatan bangsa, memperkuat potensi, memberdayakan dan mengembangkan sumber daya alam bagi kemakmuran seluruh bangsa Indonesia.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia, dapat disimpulkan bahwa masalah ini telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Meskipun terdapat sengketa, kedua negara umumnya berusaha mencari penyelesaian secara damai. Upaya damai tersebut tercermin dalam serangkaian Memorandum of Understanding (MoU) dan pertemuan antara Indonesia dan Malaysia, yang dimulai sejak dekade 1970-an.

Salah satu konsep penting dalam penyelesaian sengketa ini adalah uti possidetis juris, yang menunjukkan bahwa negara baru mewarisi wilayah dari negara penguasa sebelumnya. Dalam konteks ini, Indonesia mewarisi wilayah yang pernah dikuasai oleh Belanda, sementara Malaysia mewarisi wilayah yang pernah dikuasai oleh Inggris. Konsep ini mengikuti praktik yang diterima secara internasional untuk negara-negara bekas jajahan.

Traktat London juga memiliki peran sentral dalam menentukan batas wilayah di Pulau Kalimantan, dan perjanjian-perjanjian sebelumnya antara Belanda dan Inggris juga membentuk dasar hukum dalam penyelesaian sengketa ini. Prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt menggarisbawahi bahwa perjanjian tidak mengikat pihak yang tidak terlibat di dalamnya.

B. Saran

Dalam konteks penyelesaian sengketa batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia, berikut beberapa saran yang dapat diambil:
  1. Kedua negara harus terus menjaga upaya diplomasi untuk menyelesaikan sengketa ini dengan cara damai. Melalui dialog terbuka dan konstruktif, potensi konflik dapat diminimalkan.
  2. Mengajukan isu ini kepada organisasi internasional seperti PBB atau ASEAN dapat membantu mencari penyelesaian yang adil dan berdasarkan hukum internasional.
  3. Kedua negara dapat meningkatkan kerjasama dalam survei dan pemetaan wilayah untuk menghindari ambiguasi di masa mendatang.
  4. Peningkatan pemahaman publik mengenai sejarah dan hukum yang melandasi sengketa ini dapat membantu menghindari miskomunikasi dan membangun dukungan untuk penyelesaian damai.
  5. Menggunakan regulasi nasional, seperti Undang-Undang yang ditetapkan dalam Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945, dapat memberikan landasan hukum yang kuat dalam menentukan batas wilayah.