Makalah Peta Pemikiran Pendiri Bangsa tentang Pancasila PPKn Kelas 11 SMA/SMK

Berikut adalah makalah tentang “Peta Pemikiran Pendiri Bangsa tentang Pancasila” mata pelajaran PPKn Kelas 11 SMA/SMK.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makalah ini membahas pandangan dan pemikiran para pendiri bangsa Indonesia tentang Pancasila, dasar negara Indonesia yang merdeka. Para pendiri bangsa, seperti Soekarno, Moh. Yamin, Soepomo, dan Moh. Hatta, memainkan peran penting dalam merumuskan dasar negara ini melalui diskusi dan perdebatan dalam sidang-sidang seperti BPUPK dan PPKI.

Dalam proses perumusan dasar negara ini, terjadi banyak diskusi dan pertukaran gagasan di antara anggota BPUPK, yang mewakili berbagai sudut pandang dan latar belakang yang berbeda. Hal ini adalah hal yang wajar dan diperlukan karena Indonesia adalah negara besar dengan keberagaman budaya, suku, dan agama. Meskipun terjadi perbedaan pendapat, para pendiri bangsa memiliki tujuan yang sama, yaitu meraih kemerdekaan, persatuan, dan kejayaan bagi Indonesia.

Pada awalnya, banyak anggota BPUPK yang memberikan pidato dan pandangan mereka tentang dasar negara. Para tokoh seperti Soekarno, Moh. Yamin, Soepomo, dan Hatta, bersama dengan anggota lainnya, berbicara tentang berbagai aspek dasar negara. Diskusi ini mencakup konsep-konsep seperti kebangsaan, internasionalisme, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.

Setiap anggota memiliki pandangan berbeda berdasarkan latar belakang dan pengalaman mereka. Meskipun terjadi perdebatan dan penyanggahan, tujuan akhirnya adalah mencapai kesepakatan yang menggambarkan aspirasi rakyat Indonesia untuk kemerdekaan dan persatuan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana diskusi dan perumusan dasar negara Indonesia merdeka berlangsung dalam BPUPK?
  2. Apa yang menjadi dasar pemikiran Soekarno tentang Pancasila dan bagaimana kelima konsep yang dia usulkan dijelaskan?
  3. Bagaimana pandangan Moh. Yamin terhadap dasar negara Indonesia dan bagaimana ia mengaitkannya dengan kebangsaan, kemanusiaan, dan ketuhanan?
  4. Apa pandangan Soepomo terhadap dasar negara dan bagaimana ia mengusulkan lima dasar yang berfokus pada persatuan, kekeluargaan, keseimbangan, musyawarah, dan keadilan?
  5. Bagaimana Moh. Hatta memahami Pancasila sebagai dua dasar yang berkaitan dengan moral dan politik, serta bagaimana pandangannya terhadap demokrasi sosial?

C. Tujuan

Tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Memahami proses diskusi dan perumusan dasar negara Indonesia merdeka dalam BPUPK serta pemikiran para pendiri bangsa tentang Pancasila dan dasar negara.
  2. Memberikan wawasan mengenai bagaimana ide dan nilai-nilai tersebut menjadi dasar pembentukan negara Indonesia yang merdeka dan berkeadilan.
  3. Merangkum pemikiran-pemikiran kunci dari masing-masing pendiri bangsa tentang Pancasila dan dasar negara, serta mengilustrasikan bagaimana pandangan mereka berkontribusi dalam mengembangkan konsep dasar negara yang mencakup persatuan, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Diskusi dan Perumusan Dasar Negara Indonesia Merdeka

Banyak anggota BPUPK turut menyampaikan pidato pada sidang pertama yang membahas dasar negara Indonesia merdeka. Tak hanya Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang pidato waktu itu, juga ada Hatta, H. Agus Salim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan lain-lain. Diskusi dan saling menanggapi, bahkan saling sanggah, terjadi selama persidangan.

Hal tersebut sebuah kewajaran, bahkan keharusan. Disebut kewajaran karena setiap orang niscaya memiliki pemikiran berbeda-beda akibat pengaruh perbedaan latar belakang, sudut pandang, cita-cita, dan lain sebagainya. Disebut keharusan karena yang subjek pembicaraan adalah negara besar, tidak hanya aspek geografis dan jumlah populasi, juga kaya sumber daya alam dan tradisi. Pada titik ini, diskusi, saling menanggapi, bahkan saling sanggah dalam persidangan adalah wujud demokrasi. Namun demikian, para anggota BPUPK—serta para pendiri bangsa lainnya yang tidak tergabung dalam BPUPK—memiliki cita-cita yang sama, yakni kemerdekaan, persatuan, dan kejayaan Indonesia.

Soekarno memiliki peran besar dalam merumuskan dasar negara. Ia bukan saja memperkenalkan nama Pancasila terhadap lima konsep yang disampaikan dalam sidang BPUPK. Lebih dari itu, kelima konsep disampaikan menjadi rujukan penting dalam pembahasan-pembahasan berikutnya, terutama dalam Panitia Sembilan.

Namun demikian, kontribusi pemikiran sejumlah tokoh lainnya tidaklah sedikit. Usulan Soepomo, misalnya, terkait bentuk negara integralistik serta struktur sosial bangsa Indonesia juga kerangka penting dalam merumuskan negara merdeka. Begitu juga dengan anggota BPUPK lainnya.

Tak hanya pada sidang pertama BPUPK, perbincangan tentang dasar negara terus dimatangkan, baik dalam Panitia Kecil maupun saat sidang kedua BPUPK. Hasil dari Panitia Kecil yang dibentuk setelah sidang pertama BPUPK, dicapainya kesepakatan 2, antara, yang oleh Soekarno disebut sebagai, “kelompok Islam” dan “kelompok kebangsaan”, sebagaimana yang tertulis dalam Preambule, atau Mukaddimah. Hasil kesepakatan ini dibacakan oleh Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil di hadapan sidang BPUPK kedua. Pada sidang kedua ini, anggota BPUPK banyak mendiskusikan soal bentuk negara, ketimbang soal dasar negara.

Perbincangan tentang dasar negara kembali mengemuka pada saat sidang PPKI yang berlangsung sehari setelah kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945. Fokus pembicaraan saat itu adalah soal “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

B. Pemikiran Para Pendiri Bangsa terhadap Pancasila dan Dasar Negara Indonesia Merdeka

Berikut peta pemikiran para pendiri bangsa tentang dasar negara dan bagaimana para pendiri bangsa memaknai Pancasila.

a. Soekarno

Pidato Soekarno dalam sidang pertama BPUPK mengusulkan lima dasar bagi Indonesia merdeka. Dia pula yang mengusulkan penamaan Pancasila terhadap kelima dasar yang diusulkan tersebut.

Berikut 5 dasar usulan Soekarno, beserta penjelasannya:

1. Kebangsaan Indonesia
Soekarno menjelaskan bahwa kebangsaan di sini bukan arti sempit, tetapi arti luas yakni, nationale staat. Soekarno kemudian memberikan definisi “bangsa” dengan mengutip pendapat Ernest Renan, yaitu “kehendak akan bersatu, Orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu”. Soekarno juga mengutip pendapat Otto Bauer yang mendefinisikan bangsa “adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib”. Namun, definisi ini dirasa oleh Soekarno tidak cukup untuk menggambarkan kebangsaan Indonesia. Pasalnya, Soekarno memberikan contoh bangsa Minangkabau. Sesama bangsa Minangkabau merasa satu kesatuan, merasa satu keluarga. Namun, hal tersebut hanyalah satu bagian kecil dari satu kesatuan.

Pendek kata, Soekarno menjelaskan bahwa bangsa Indonesia bukanlah sekadar satu golongan orang yang memiliki keinginan untuk bersama dan bersatu dengan golongannya, tetapi harus menjadi satu kesatuan seluruh manusia Indonesia yang berbangsa-bangsa dan tinggal di pulau-pulau Indonesia. Soekarno mengatakan:

Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia jang bulat! Bukan kebangsaan Djawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.

Namun, kata Soekarno, kebangsaan Indonesia jangan terjebak pada chauvinisme, paham yang menempatkan bangsanya paling tinggi di antara bangsa-bangsa dunia, sekaligus memandang bangsa-bangsa lain lebih rendah. Soekarno mengatakan:

Jangan kita berdiri di atas azas demikian, tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Dengan demikian, dasar pertama ini tidak cukup, melainkan membutuhkan dasar kedua, yakni Internasionalisme atau perikemanusiaan.

2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
Internasionalisme di sini, kata Soekarno, tidak bermakna kosmopolitanisme, sebuah paham yang menganggap bahwa seluruh manusia adalah satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Jika seperti ini, kata Soekarno, maka “tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya”.

Karena itulah, internasionalisme harus berakar pada nasionalisme. Soekarno mengatakan, “Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme”. Dengan demikian, dasar pertama, kebangsaan Indonesia, harus bergandengan tangan dengan dasar kedua, internasionalisme. Soekarno mengutip pendapat Mahatma Gandhi, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan."

3. Mufakat atau demokrasi
Soekarno mengatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, 'semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.' Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.” Dasar yang ketiga inilah, menurut Soekarno, menjadi tempat terbaik untuk memelihara agama Islam. Sehingga, jika ada yang belum memuaskan, permusyawaratan inilah yang harus dilakukan. Soekarno memberikan tanggapan terhadap perdebatan alot di antara anggota BPUK tentang apakah Indonesia akan berdasarkan Islam atau tidak.

Soekarno mengatakan:

Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian terbesar dari pada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakjat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam.

4. Kesejahteraan Sosial
Prinsip keempat yang diusulkan Soekarno adalah kesejahteraan sosial. Menurut Soekarno, prinsip keempat ini belum ada yang membicarakan selama sidang pertama BPUPK. Kesejahteraan sosial di sini, menurut Soekarno, "tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka". Prinsip ini dikaitkan oleh Soekarno dengan prinsip ketiga. Karena itulah, Soekarno berpesan:

Kalau kita mentjari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusjawaratan yang memberi hidup, yakni politik-ekonomi-demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

Soekarno mengingatkan, "Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum Kapitalis merajalela? Padahal ada Badan Perwakilan Rakyat!" Karena itulah, demokrasi yang dianut tidak hanya berkaitan dengan politik, tetapi juga berkaitan dengan kesejahteraan sosial, dan ekonomi.

5. Ketuhanan
Prinsip kelima yang diusulkan Soekarno adalah Ketuhanan. "Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan," ujar Soekarno. "Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan," kata Soekarno. Apa maksud ber-Tuhan secara kebudayaan atau keadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Soekarno pun menyinggung bagaimana Nabi Muhammad dan Nabi Isa memberikan bukti yang cukup tentang hormat-menghormati. Karena itulah, ketuhanan yang berkebudayaan di sini dimaknai oleh Soekarno sebagai ketuhanan yang berbudi pekerti, yang luhur, ketuhanan yang menghormati sama lain. Dengan prinsip kelima ini, semua agama dan kepercayaan mendapatkan tempat yang baik.

Kelima dasar tersebut oleh Soekarno, diberi nama Pancasila. Namun, jika sekiranya kelima dasar tersebut dirasa kurang cocok, Soekarno kemudian memeraskan menjadi tiga, (trisila): Sosio-Nasiolisme, Sosio-Demokratik, dan Ketuhanan. Jika pun ketiga dasar ini dirasa kurang cocok, Soekarno mengusulkan satu dasar (ekasila), yang diperas dari ketiga dasar tersebut, yaitu Gotong Royong.

b. Moh. Yamin

Mohammad Yamin menyuguhkan lima usulan tentang dasar negara Indonesia merdeka. Bagaimana penjelasan Moh. Yamin terhadap masing-masing usulan tersebut? Berikut penjelasannya.

1. Peri Kebangsaan
Menurut Yamin, ada tiga hal yang harus dilakukan terkait dengan kebangsaan Indonesia yang berkeinginan untuk merdeka, yaitu (1) mengenai pekerjaan anggota untuk mengumpulkan segala bahan-bahan untuk pembentukan negara, (2) mengenai Undang-Undang Dasar Negara, (3) usaha yang harus dilakukan untuk menjadikan Indonesia merdeka sesuai dengan keinginan rakyat.

Peri kebangsaan ini berkaitan dengan paham nasionalisme. Nasionalisme dalam negara Indonesia merdeka berbeda dengan usaha rakyat sewaktu mendirikan negara Syailendera Sriwijaya (600-1400), juga berbeda dengan kerajaan Majapahit (1293-1525). Bagi Yamin, paham atau falsafah tentang kedatuan atau keprabuan sebagaimana pada masa Sriwijaya dan Majapahit tidak dapat diberlakukan dalam negara Indonesia.

Sebuah negara, menurut Yamin, berkaitan dengan tanah air, bangsa, kebudayaan, dan kemakmuran. Ia ibarat setangkai bunga yang berhubungan dengan dahan, daun, dan cabang. Karena itu, Yamin menyarankan agar tatanan negara Indonesia berbeda dengan negara luar, karena aturan-aturan dasar negara Indonesia perlu merujuk kepada tradisi, adat, agama, dan otak Indonesia, bukan merujuk kepada negara lain.

2. Peri Kemanusiaan
Ketika mengemukakan poin ini, Yamin tidak langsung menjelaskan makna dari peri kemanusiaan. Yamin mengatakan bahwa pergerakan Indonesia merdeka tidak saja berkaitan dengan perlawanan terhadap penjajah, melainkan juga upaya untuk menyusun masyarakat baru dalam suatu negara. Tujuan Indonesia merdeka sudah sama artinya dengan dasar kemanusiaan yang berupa dasar kedaulatan rakyat atau kedaulatan negara.

Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia merdeka berdasarkan peri kemanusiaan yang universal, berisikan tentang humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa. Dasar peri kemanusiaan adalah dasar hukum internasional dan peraturan kesusilaan sebagai bangsa dan negara yang merdeka.

3. Peri Ketuhanan
Poin ketiga yang disampaikan oleh Yamin adalah ketuhanan. Yamin tidak memberikan penjelasan panjang lebar terkait dengan hal ini. Yamin hanya mengatakan bahwa bangsa Indonesia merdeka adalah bangsa yang berkeadaban luhur, dan peradabannya memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan akan melindungi negara Indonesia merdeka itu.

4. Peri Kerakyatan
Yamin memberikan ilustrasi cukup panjang tentang poin ini. Peri kerakyatan ini memiliki anak poin lagi, yaitu permusyawaratan, perwakilan, dan kebijakan. Terhadap anak poin tersebut, Yamin banyak merujuk kepada kitab suci umat Islam, al-Qur’an.

Ketika membahas tentang permusyawaratan, Yamin mengutip ayat al-Qur’an surat As-Syuara ayat 38, juga merujuk kepada sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat, yang kesemuanya dijadikan dasar perlunya permusyawaratan. Yamin juga mengambil dasar permusyawaratan dari sifat-sifat peradaban asli Indonesia (pra-sejarah), di mana nenek moyang kita sudah terbiasa melakukan musyawarah.

Anak poin kedua adalah perwakilan. Menurut Yamin, sifat utama dari susunan masyarakat ialah adanya sistem perwakilan. Mohammad Yamin melihat bahwa despotisme dan feodalisme merupakan penyakit yang menghinggapi peradaban Indonesia yang harus disingkirkan. Bagi Yamin, untuk mewujudkan negara Indonesia yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, maka perwakilan perlu dilakukan.

Anak poin ketiga adalah jalan kebijaksanaan, yang oleh Yamin diterjemahkan menjadi rasionalisme. Hikmah dari kebijaksanaan yang menjadikan pemimpin rakyat Indonesia ialah rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan diri dari anarki, liberalisme, dan semangat penjajahan.

5. Kesejahteraan Rakyat
Tidak banyak yang dijelaskan Yamin mengenai kesejahteraan rakyat ini. Ia hanya mengatakan bahwa perubahan besar yang terjadi dalam diri bangsa Indonesia berhubungan langsung dengan dilantiknya negara baru. Selain itu, mengenai kehidupan ekonomi sosial bangsa Indonesia, Mohammad Yamin membicarakan persoalan tentang kesejahteraan rakyat atau keadilan sosial yang dikaitkan dengan daerah negara. Secara puitis, Yamin mengatakan bahwa Garuda Negara Indonesia yang hendak terbang membumbung tinggi melalui daerah yang terhampar dari Gentingan kra di Semenanjung Melayu dan Pulau Weh di puncak utara Sumatera sampai ke kandang Sampan Mangio di kaki Gunung Kinabu dan Pulau Palma Sangihe di sebelah utara Sulawesi.

c. Soepomo

Sebagai seorang pakar hukum, Soepomo pertama-tama berbicara tentang syarat-syarat berdirinya suatu negara berdasarkan konstitusi. Menurutnya, syarat pertama adalah daerah. Terkait hal ini, Soepomo setuju bahwa daerah Indonesia meliputi batas Hindia-Belanda. Kedua, rakyat sebagai warga negara. Artinya, siapapun yang memiliki kebangsaan Indonesia, maka dengan sendirinya bangsa Indonesia asli. Bangsa peranakan, Tionghoa, India, Arab yang telah turun temurun tinggal di Indonesia, dan mempunyai kehendak yang sungguh-sungguh untuk bersatu dengan bangsa Indonesia yang asli, maka ia harus diterima sebagai warga negara Indonesia. Ketiga, pemerintahan yang berdaulat menurut hukum internasional.

Kemudian, Soepomo membicarakan dasar negara Indonesia dengan mengutip sejumlah teori, seperti teori perseorangan yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke, teori golongan (class theory) dari Karl Marx, Engels, dan Lenin, serta teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel.

Setiap negara, menurut Soepomo, harus sesuai dan mencerminkan struktur sosial, karakteristik masyarakat. Negara Indonesia merdeka tidak seharusnya dibangun dengan menjiplak masyarakat di luar Nusantara. Corak dan bentuk negara itu harus disesuaikan dengan perikehidupan masyarakat yang nyata. Menurut Soepomo, struktur sosial bangsa Indonesia ditopang oleh semangat persatuan hidup, semangat kekeluargaan, keseimbangan lahir batin masyarakat, yang senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya demi menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat. Pokok pemikiran Soepomo tersebut oleh Nugroho Notosutanto ditafsirkan bahwa Soepomo mengajukan lima dasar bagi negara merdeka.

1. Persatuan
Persatuan yang dimaksudkan oleh Soepomo adalah persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikro kosmos dan makrokosmos, antara pemimpin dan rakyatnya. Soepomo sangat menekankan adanya persatuan pemimpin dengan rakyatnya. Karena itulah, pejabat negara, menurut Soepomo, ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat, dan para pejabat negara itu senantiasa memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam masyarakatnya.

2. Kekeluargaan
Karakteristik sosial bangsa Indonesia adalah kekeluargaan, sehingga hal ini perlu menjadi dasar bagi Indonesia merdeka. Soepomo mengkritik apa yang disebutnya “kebudayaan Barat”. Menurut Soepomo, orang Barat berpegang pada prinsip perseorangan (individualisme). Individualisme ini yang menyebabkan bangsa-bangsa Eropa pada keangkaramurkaan, ia dapat bersaing dengan sangat keras dan saling menjatuhkan. Sementara, orang Timur tidak mengenal individualisme. Dalam budaya Timur, sebagaimana Indonesia, semua orang dianggap sebagai anggota keluarga. Semua pekerjaan dijalankan secara bersama-sama. Oleh karena itu, negara Indonesia merdeka harus diselenggarakan atas dasar kekeluargaan dan gotong-royong.

3. Keseimbangan lahir dan batin
Setiap manusia, menurut Soepomo, dalam pergaulan sosial memiliki kewajiban hidup (dharma) sendiri menurut kodrat alamnya, yang kesemuanya itu ditujukan untuk mencapai keseimbangan lahir dan batin. Batin di sini berkaitan dengan agama, keyakinan, atau kepercayaan yang dimiliki masyarakat Indonesia, yang dapat menjadikan petunjuk jalan dalam kehidupannya. Sementara lahir berarti hal-hal tampak, ragawi, dan fisikal. Keduanya tidak dapat dipisahkan.

4. Musyawarah
Menurut Soepomo, masyarakat Indonesia sudah terbiasa melakukan musyawarah sejak dahulu kala. Karena itu, pemimpin negara Indonesia, menurut Soepomo, sebaiknya bermusyawarah dengan rakyatnya, atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desa, agar terwujud pertalian antara pemimpin dan rakyat.

5. Keadilan rakyat
Setiap pemimpin, mulai dari kepala desa, menurut Soepomo, harus bertindak sesuai dengan prinsip keadilan dan cita-cita rakyatnya.

Soepomo hanya sedikit menyinggung kelima dasar di atas, selebihnya Soepomo berbicara tentang bentuk negara Indonesia merdeka. Dalam imajinasinya, negara merdeka itu haruslah suatu “negara totaliter”, seperti Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler atau Jepang di bawah Kaisar Tennoo Heika. Maksud dari “negara totaliter”, yang oleh Soepomo disebut dengan “bentuk integralistik”, ialah suatu negara yang meniadakan perbedaan antargolongan masyarakat, meleburkan seluruh golongan ke dalam satu zat, yaitu rakyat yang bersatu jiwa dengan pemimpinnya.

Pemimpin Indonesia yang dibayangkan oleh Soepomo seperti “Ratu Adil”, sosok raja dalam mitos orang Jawa yang akan menyelamatkan seluruh rakyat dari marabahaya. Karena itulah, Soepomo menganjurkan bahwa “dalam Negara Indonesia itu hendaknya dianjurkan supaya para warga negara cinta kepada tanah air, ikhlas akan diri sendiri, dan suka berbakti kepada tanah air; supaya mencintai dan berbakti kepada pemimpin dan kepada negara; supaya takluk kepada Tuhan, supaya tiap-tiap waktu ingat kepada Tuhan”.

d. Moh. Hatta

Menurut Moh. Hatta, Pancasila sebenarnya terdiri atas dua dasar. Pertama, berkaitan dengan moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, berkaitan dengan aspek politik, yaitu kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial.

Ketuhanan, menurut Hatta, menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat. Kemanusiaan menegaskan pentingnya perbuatan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintah, sehingga ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional yang satu, tidak terbagi-bagi ke dalam ideologi, golongan, dan kelompok tertentu. Dasar kerakyatan menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemauan, kehendak, dan aspirasi rakyat. Dasar keadilan sosial merupakan pedoman dan tujuan bagi adanya Indonesia.

Hatta menolak gagasan negara integralistik atau negara totaliter, sebagaimana yang diusulkan oleh Soepomo. Menurut Hatta, negara integralistik memberikan peluang dan legitimasi terhadap adanya kekuasaan mutlak negara, karena negara dan rakyat menjadi satu, tidak terpisahkan. Hatta lebih setuju dengan negara kesatuan yang bersendi demokrasi dan dibatasi oleh konstitusi. Dengan bersendi demokrasi, maka dalam negara kesatuan, kekuatan terbesar ada pada rakyat. Di sini, rakyat mendapatkan haknya untuk menyuarakan pendapatnya melalui lembaga-lembaga demokrasi.

Hatta menolak demokrasi yang bertumpu pada kepentingan feodal, ataupun kepentingan satu golongan yang menindas golongan lain. Demokrasi politik saja, tidak melaksanakan persamaan dan persaudaraan, sehingga ia juga harus ditopang dengan demokrasi ekonomi.

Cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial yang meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan sosial harus dijadikan program untuk dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sumber demokrasi sosial Indonesia adalah paham sosialisme Barat, sebagai dasar perikemanusiaan; ajaran Islam sebagai dasar menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai mahkuk Tuhan; masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme menjadi dasar tolong menolong dan gotong royong.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam pembahasan bab II diatas, telah dibahas mengenai diskusi dan perumusan dasar negara Indonesia merdeka oleh anggota BPUPK. Sidang pertama BPUPK menjadi ajang berbagai pemikiran yang saling berbenturan, namun di tengah perbedaan itu, tujuan yang sama yaitu kemerdekaan, persatuan, dan kejayaan Indonesia tetap menjadi fokus utama. Soekarno memainkan peran penting dalam merumuskan dasar negara dengan mengusulkan lima dasar yang diakui oleh banyak anggota BPUPK.

Kebangsaan Indonesia diartikan sebagai satu kesatuan seluruh manusia Indonesia yang tinggal di pulau-pulau Indonesia. Internasionalisme atau perikemanusiaan dihubungkan dengan nasionalisme dan harus berakar pada nasionalisme. Musyawarah dan permusyawaratan diusulkan sebagai dasar demokrasi, sementara kesejahteraan sosial dan ketuhanan menjadi elemen penting lainnya.

Moh. Yamin dan Soepomo juga memberikan pandangan unik. Yamin menekankan pada peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat sebagai dasar negara Indonesia. Soepomo menekankan persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, serta keadilan rakyat sebagai dasar negara.

Hatta memberikan pandangan tentang dua dasar Pancasila, yaitu moral (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan aspek politik (kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial). Hatta menolak gagasan negara integralistik dan mendorong negara kesatuan dengan demokrasi sosial sebagai cita-cita.

B. Saran

Dari pembahasan di atas, berikut beberapa saran yang dapat diambil untuk memahami pemikiran pendiri bangsa tentang Pancasila:
  1. Pentingnya persatuan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.
  2. Nilai-nilai Kemanusiaan mencakup gotong royong, menghormati perbedaan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia perlu ditekankan.
  3. Perlunya menghormati keragaman budaya, agama, dan kepercayaan dalam pembentukan negara.
  4. Menghargai kebebasan berpendapat, merawat persatuan, dan memajukan kesejahteraan rakyat masih sangat penting.