Makalah Kasus Diskriminasi Terhadap Minoritas di Indonesia PPKn Kelas 10 SMA/SMK

Berikut adalah makalah tentang “Kasus Diskriminasi Terhadap Minoritas di Indonesia” mata pelajaran PPKn Kelas 10 SMA/SMK.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makalah ini membahas tentang perlunya perhatian terhadap masalah diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Diskriminasi ini berupa perlakuan buruk dan kekerasan yang masih terjadi terhadap kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat kita. Kasus-kasus ini belum sepenuhnya terselesaikan, dan ada kecenderungan bahwa penanganannya belum memuaskan.

Contoh terbaru adalah kasus kekerasan di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 8 Agustus 2020, di mana sekelompok orang menyerang keluarga yang sedang melakukan upacara tradisional Midodareni. Mereka merusak properti dan melukai anggota keluarga, sambil mengeluarkan pernyataan yang merendahkan keyakinan agama Syiah.

Tindakan semacam ini menimbulkan keprihatinan dan mengesankan bahwa situasi intoleransi masih ada di Indonesia, meskipun pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, telah berbicara tentang pentingnya mengatasi intoleransi. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini juga mempengaruhi kerukunan dalam kehidupan beragama.

Sebuah survei dari Komnas HAM dan Litbang Kompas tahun 2018 juga menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis masih perlu ditingkatkan. Banyak orang merasa lebih nyaman hidup dalam lingkungan yang sama ras, keluarga, atau etnis. Bahkan, pengaduan mengenai diskriminasi ras dan etnik masih cukup tinggi, dan Jakarta menjadi daerah dengan pengaduan tertinggi.

Kementerian Agama juga merilis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) setiap tahun, yang mengukur tingkat toleransi dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Skor indeks ini mengalami fluktuasi dan ada penurunan pada beberapa tahun, yang mungkin dipengaruhi oleh situasi politik dan isu-isu identitas seperti agama. Ini menunjukkan adanya hubungan antara masalah diskriminasi dan kondisi demokratisasi di Indonesia.

Dengan adanya perkembangan ini, kita perlu memahami dan mengatasi masalah diskriminasi terhadap minoritas agar Indonesia dapat mempertahankan kerukunan dan demokrasinya.

 B. Rumusan Masalah

Makalah ini mencoba untuk menjawab beberapa pertanyaan terkait diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia, diantaranya:
  1. Apa saja kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas yang terjadi di Indonesia?
  2. Mengapa kasus-kasus diskriminasi terhadap minoritas sering terjadi dan sulit terselesaikan?
  3. Bagaimana hubungan antara isu agama dan politik dengan kasus-kasus diskriminasi?
  4. Bagaimana respons pemerintah terhadap kasus-kasus diskriminasi terhadap minoritas?
  5. Bagaimana dampak tindak intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas terhadap demokrasi di Indonesia?

C. Tujuan Makalah

Makalah ini bertujuan untuk:
  1. Menjelaskan kasus-kasus konkret diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia, dengan mengambil contoh kasus di Solo.
  2. Menganalisis alasan di balik terulangnya kasus diskriminasi terhadap minoritas dan sulitnya menyelesaikan masalah ini.
  3. Membahas bagaimana isu agama dan politik memengaruhi terjadinya kasus diskriminasi dan intoleransi.
  4. Menggambarkan respons pemerintah terhadap kasus-kasus diskriminasi dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
  5. Menganalisis dampak tindak intoleransi dan diskriminasi terhadap minoritas terhadap kondisi demokrasi di Indonesia, terutama dalam konteks perubahan indeks demokrasi dalam beberapa tahun terakhir.
  6. Mengidentifikasi upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kasus diskriminasi terhadap minoritas dan memperkuat kerukunan serta demokrasi di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kasus Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas

Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia tidak juga kunjung berakhir. Tidak hanya terus berulang, kasus-kasus ini juga jarang terselesaikan dengan baik. Terakhir, kasus kekerasan ini terjadi di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (8/8/2020). Tindak kekerasan dan penyerangan di Solo tersebut dilakukan oleh sekelompok orang pada upacara Midodareni yang diselenggarakan di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81, Kp. Mertodranan, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, pada Sabtu, (8/8/2020).

Sekelompok orang tersebut melakukan penyerangan, merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga yang melakukan upacara Midodareni, sembari meneriakan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal. Sedikit catatan, Midodareni merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan. Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Alissa Wahid mengecam tindak kekerasan tersebut. Menurutnya, insiden tersebut menambah catatan buruk kasus intoleransi di Indonesia.

Padahal, Presiden RI Joko Widodo pernah menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi tindak intoleransi di Indonesia. Kejadian tersebut memperpanjang datar tindak diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas khususnya dalam kerukunan beragama. Pada 2018 lalu, Komnas HAM bersama Litbang Kompas meluncurkan survei berjudul "Survei Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi".

Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis masih perlu ditingkatkan. Misalnya, sebanyak 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama. Kemudian, sebanyak 82,7 persen responden mengatakan mereka lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sebanyak 83,1 persen responden juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang sama.

Komnas HAM mencatat 101 aduan terkait diskriminasi ras dan etnik sepanjang 2011-2018 dengan aduan tertinggi pada 2016. Jumlah pengaduan terbanyak berasal dari DKI Jakarta dengan 34 aduan.

B. Tantangan Kerukunan Beragama dan Kekerasan dalam Konteks Politik

Kementerian Agama setiap tahun merilis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, KUB merupakan keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Indeks tersebut digambarkan dengan angka 0-100.

Komponen penilaian yang disorot dalam penilaian ini yaitu kesetaraan, toleransi, dan kerja sama antarumat beragama. Skor indeks KUB nasional mengalami fluktuasi setiap tahunnya, mulai dari 75,35 pada 2015 hingga menjadi 73,83 pada 2019. Angka rerata nasional sempat turun pada 2017-2018 hingga menjadi 70,90 pada 2018.

Saat mengumumkan angka indeks KUB 2018, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Mas’ud menyebut banyak peristiwa yang terjadi pada periode 2017-2018 yang menguji kerukunan berbangsa dan bernegara. "Kental terasa di benak kita, isu-isu keagamaan bersinggungan dengan isu-isu politik. Atau, ada juga yang menganggap bahwa ras dan agama telah dibawa menjadi isu politik atau politisasi agama menjelang perhelatan Pileg dan Pilpres serentak pada 17 April 2019” ujar Mas’ud, Senin (25/3/2019).

Mas’ud mencontohkan peristiwa keagamaan yang bersinggungan dengan politik pada periode 2016-2017 yaitu kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), situasi menjelang Pilkada DKI 2017, serta residu politik pada 2018-2019 menjelang Pemilu serentak.

Pada 2019, Kementerian Agama mencatat 18 provinsi mendapatkan skor di bawah rerata nasional 73,83. Tiga provinsi dengan skor terendah yaitu: Jawa Barat 68,5; Sumatera Barat 64,4; dan Aceh 60,2. Selain terhadap perbedaan agama, tingkat toleransi atau penerimaan terhadap isu lain dapat dilihat dari Social Progress Index yang dirilis oleh Social Progress Imperative.

Indeks tersebut dirancang untuk melihat kualitas kemajuan sosial suatu negara melalui tiga variabel penilaian yaitu basic human needs, foundations of wellbeing, dan opportunity dengan skor 0-100. Variabel opportunity dapat menjadi sorotan ketika melihat tingkat toleransi di Indonesia. Dalam variabel tersebut, terdapat komponen penilaian inclusiveness.

Komponen inclusiveness merupakan penilaian tingkat penerimaan masyarakat terhadap seluruh golongan untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang berkontribusi tanpa ada pengecualian. Jika dirinci, komponen inclusiveness terdiri dari beberapa sub komponen penilaian yaitu penerimaan terhadap gay dan lesbian, diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan gender, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan posisi sosial ekonomi, dan kesetaraan kekuatan politik berdasarkan kelompok sosial.

C. Menurunnya Skor Inklusivitas dan Dampak Terhadap Demokrasi

Pada periode 2015-2019, skor inclusiveness Indonesia pada awalnya menunjukkan tren peningkatan pada tiga tahun pertama, kemudian turun dalam dua tahun terakhir. Pada 2015, skor inclusiveness Indonesia sebesar 38,68 kemudian naik menjadi 40,81 pada 2016 dan 42,03 pada 2017. Skor kemudian turun menjadi 40,77 pada 2018, dan kembali turun pada 2019 menjadi 39,96. Skor pada 2019 tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 99 dari 149 negara.

Periode 2018-2019 memang merupakan periode yang banyak diisi oleh agenda politik, utamanya menjelang Pemilu 2019. Tidak jarang, sejumlah agenda politik tersebut bersinggungan dengan pemanfaatan isu identitas termasuk ras, agama, dan kelompok minoritas untuk kepentingan politik.

Dalam lima tahun terakhir, tindak intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas memang seolah mendapatkan traksi pada pagelaran politik. Salah satu contoh yang paling kentara boleh jadi tampak pada kasus penistaan agama yang melibatkan calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di 2016. Lebih lanjut, fenomena peningkatan tindak intoleransi dan diskriminasi ini memiliki dampak tidak langsung terhadap situasi demokratisasi di Indonesia.

Laporan indeks demokrasi oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan, situasi demokratisasi Indonesia sedikit 'terganggu' dalam lima tahun terakhir. Catatan singkat, EIU menyusun indeks tersebut melalui lima variabel penilaian dengan rentang skor 0-10 terhadap 165 negara.

Berdasarkan laporan EIU, indeks demokrasi Indonesia tercatat mengalami tren menurun sejak 2016, meskipun mengalami kenaikan pada 2019. Indeks demokrasi Indonesia turun menjadi 6,97 dari tahun sebelumnya 7,03. Skor tersebut kembali turun menjadi 6,39 pada 2017 dan stagnan pada tahun berikutnya. Kenaikan skor terjadi pada 2019 menjadi 6,48.

Meskipun Pemilu serentak 2019 telah usai, kasus terkait intoleransi dan diskriminasi yang bersinggungan dengan identitas belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai. Terlebih, hingga tulisan ini dimuat, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di beberapa daerah masih direncanakan akan tetap diselenggarakan di 2020 di tengah situasi pandemi.

Sumber: https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadap-minoritas-di-indonesia-fXpD

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia masih menjadi masalah serius. Kasus-kasus ini tidak hanya terjadi berulang-ulang, tetapi juga sulit diselesaikan dengan baik. Contoh terbaru terjadi di Solo pada Agustus 2020, di mana sekelompok orang menyerang upacara Midodareni dengan alasan agama. Meskipun Presiden Joko Widodo pernah menegaskan penolakan terhadap intoleransi, kasus-kasus ini masih terus terjadi dan memperpanjang masalah diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas.

Survei menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap diskriminasi ras dan etnis masih perlu ditingkatkan. Meskipun upaya dilakukan, kasus aduan terkait diskriminasi masih tinggi, terutama di DKI Jakarta. Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dirilis oleh Kementerian Agama juga mengalami fluktuasi, menunjukkan tantangan dalam menciptakan toleransi dan kerjasama antarumat beragama.

Dampak politik dan identitas dalam kasus diskriminasi juga signifikan. Isu-isu keagamaan sering kali berbaur dengan politik, terutama menjelang pemilihan umum. Fenomena ini bisa mengancam kerukunan dan demokrasi di Indonesia. Skor inklusivitas juga menunjukkan tren menurun dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan perlunya upaya lebih lanjut untuk meningkatkan toleransi dan penerimaan terhadap kelompok minoritas.

Indeks demokrasi menunjukkan adanya perubahan dalam situasi demokratisasi Indonesia. Meskipun ada kenaikan pada tahun-tahun tertentu, indeks demokrasi cenderung menurun sejak 2016. Fenomena tindak intoleransi dan diskriminasi terhadap minoritas berpotensi mengganggu situasi demokrasi di negara ini.

B. Saran

Untuk mengatasi masalah diskriminasi terhadap minoritas di Indonesia, beberapa langkah dapat diambil, yaitu:

1. Penguatan Hukum
Diperlukan undang-undang yang lebih kuat dan efektif untuk melindungi hak-hak minoritas dan menghukum pelaku tindak diskriminasi.

2. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat
Kampanye pendidikan dan kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk mengatasi prasangka dan meningkatkan toleransi terhadap perbedaan.

3. Peran Pemerintah
Pemerintah harus lebih aktif dalam menangani kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas, serta memastikan penegakan hukum yang adil.

4. Promosi Kerukunan
Program-program yang mendorong dialog antaragama dan budaya dapat membantu membangun kerukunan dan pengertian antar kelompok.

5. Monitoring dan Laporan
Institusi-institusi seperti Komnas HAM dan lembaga pemantau lainnya perlu terus memantau dan melaporkan kasus diskriminasi untuk mendukung upaya penanganan.

6. Pembatasan Politisasi Identitas
Langkah-langkah perlu diambil untuk mencegah politisasi isu identitas dalam konteks politik.

7. Pemantauan Demokrasi
Monitoring terus-menerus terhadap situasi demokrasi perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dampak potensial dari tindak intoleransi terhadap demokrasi.

8. Partisipasi Masyarakat
Masyarakat, termasuk kelompok minoritas, perlu didorong untuk aktif berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan.

Dengan upaya yang terpadu dan komprehensif, diharapkan masalah diskriminasi terhadap minoritas dapat dikurangi dan Indonesia bisa menjadi negara yang lebih inklusif dan demokratis.