Makalah Dinamika Perumusan Pancasila PPKn Kelas 11 SMA/SMK

Berikut adalah makalah tentang “Dinamika Perumusan Pancasila” mata pelajaran PPKn Kelas 11 SMA/SMK.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sidang BPUPK merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang membahas tentang hubungan antara agama dan negara. Saat itu, para pendiri bangsa memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai hal ini. Beberapa ingin Islam menjadi dasar negara, sementara yang lain berpendapat bahwa negara tidak perlu didasarkan pada agama. Beberapa tokoh, seperti Soekarno dan Hatta, berpendapat bahwa agama tidak seharusnya menjadi dasar negara.

Untuk mengatasi perbedaan pendapat ini, Panitia Sembilan dibentuk untuk mencari titik temu. Setelah diskusi panjang, mereka mencapai persetujuan dalam sebuah preambule yang dibacakan oleh Soekarno dalam sidang BPUPK kedua pada 10 Juli 1945. Preambule ini mencerminkan semangat demokrasi dan kerjasama dalam mencari solusi. Isinya menggarisbawahi pentingnya kemerdekaan, keadilan, persatuan, dan kerakyatan dalam membentuk negara Indonesia.

Namun, preambule ini masih menimbulkan kontroversi. Beberapa tokoh, seperti Mohammad Hatta, berpendapat bahwa Islam tidak perlu menjadi dasar negara secara formal. Bagi mereka, Islam tetap menjadi semangat dan dasar moral bagi bangsa Indonesia.

Dalam pembentukan identitas negara Indonesia, terdapat dua kelompok pandangan yang muncul mengenai hubungan agama dan negara.

Kelompok nasionalis sekuler berpendapat bahwa negara tidak seharusnya didasarkan pada agama tertentu, termasuk Islam. 
Sebaliknya, kelompok Nasionalis-Islam berpendapat bahwa Islam tidak hanya melibatkan urusan spiritual, tetapi juga memiliki aspek sosial dan politik yang harus diwujudkan dalam negara.

Pertentangan pandangan ini juga memunculkan diskusi tentang pelaksanaan hukum Islam. Beberapa anggota kelompok Nasionalis-Islam mendukung penerapan hukum Islam di dalam negara, sementara kelompok Nasionalis Sekuler lebih cenderung memisahkan hukum agama dari hukum negara.

Pandangan-pandangan ini masing-masing didukung oleh argumentasi yang berdasarkan pada interpretasi agama, sejarah, dan konsepsi negara yang berbeda-beda. Debat ini mencerminkan dinamika dan tantangan dalam merumuskan identitas dan dasar negara Indonesia yang inklusif, adil, dan sesuai dengan nilai-nilai yang diakui oleh berbagai kelompok masyarakat.

Pada akhirnya, melalui diskusi dan musyawarah, para pendiri bangsa Indonesia mencapai kesepakatan yang menghasilkan Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila memuat nilai-nilai universal, seperti kemerdekaan, keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan ketuhanan yang diakui oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai latar belakang agama dan kepercayaan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang muncul dari konteks sejarah dan perdebatan yang terjadi pada sidang BPUPK mengenai hubungan antara agama dan negara dalam perumusan Pancasila meliputi:
  1. Bagaimana perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara mempengaruhi proses perumusan Pancasila di sidang BPUPK?
  2. Apa yang menjadi titik temu dalam Panitia Sembilan untuk mengatasi perbedaan pendapat mengenai dasar negara Indonesia?
  3. Mengapa terjadi polemik terkait preambule dalam Pancasila dan bagaimana akhirnya terjadi penghapusan tujuh kata dalam sidang PPKI?
  4. Bagaimana pandangan Mohammad Hatta tentang peran Islam sebagai dasar negara, dan bagaimana pandangan Kiai Masjkur tentang pentingnya Pancasila sebagai pengganti dasar Islam negara?
  5. Bagaimana pandangan kelompok pertama yang menganjurkan negara sekuler dan kelompok kedua yang ingin Islam sebagai dasar negara, serta argumentasi masing-masing kelompok?

C. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Menggambarkan perdebatan yang terjadi pada sidang BPUPK mengenai hubungan antara agama dan negara dalam konteks perumusan Pancasila.
  2. Menjelaskan bagaimana Panitia Sembilan berhasil mencari titik temu dan merumuskan preambule Pancasila sebagai hasil dari diskusi panjang.
  3. Menganalisis dampak dari penghapusan tujuh kata dalam preambule Pancasila terhadap keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia.
  4. Menyajikan pandangan Mohammad Hatta dan Kiai Masjkur terkait peran Islam dalam dasar negara serta bagaimana pandangan tersebut direspons oleh tokoh lain.
  5. Memahami argumen dan pandangan kelompok pertama yang menganjurkan negara sekuler dan kelompok kedua yang ingin Islam sebagai dasar negara, serta implikasinya terhadap pembentukan identitas negara Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Potret Demokrasi dan Mufakat di Sidang BPUPK

Perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara turut mewarnai sidang BPUPK kala itu. Para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia berbeda pendapat soal ini. Sebagian menghendaki Islam menjadi dasar negara, sebagian lainnya berpandangan bahwa negara Indonesia tidak perlu menjadikan agama sebagai dasar negara. Soekarno dan Hatta, misalnya, adalah tokoh yang berpandangan bahwa negara Indonesia tidak dapat didasarkan kepada Islam. Sementara itu, Moh. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Wahid Hasyim memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara.

Untuk mengatasi perbedaan pendapat tersebut, sebagai bagian dari demokrasi serta untuk menghindari perpecahan, maka dicarikan titik temu dalam Panitia Sembilan yang dibentuk setelah sidang pertama BPUPK. Setelah melewati diskusi panjang, akhirnya Panitia Sembilan menyepakati preambule yang disampaikan oleh Soekarno, selaku ketua Panitia Sembilan, dalam sidang BPUPK kedua pada 10 Juli 1945. Preambule ini merupakan persetujuan bersama antara kalangan yang semula berbeda pendapat. Ini adalah potret sebuah proses demokrasi yang indah. Perdebatan dan perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang bermusuhan, melainkan bagian dari ikhtiar bersama untuk mencari rumusan dasar negara Indonesia yang tepat.

Berikut bunyi preambule yang dibacakan oleh Soekarno:

"Pembukaan: bahwa sesungguhnja kemerdékaan itu ialah hak segala bangsa, dan oléh sebab itu pendjadjahan diatas dunia mesti dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perdjuangan pergerakan kemerdékaan Indonésia telah sampai kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakjat Indonésia kedepan pintu gerbang Negara Indonésia jang merdéka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan jang bébas, maka rakjat Indonésia menjatakan dengan ini kemerdékaannja. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdéka jang melindungi segenap bangsa Indonésia dan seluruh tumpah-darah Indonésia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdékaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdékaan kebangsaan Indonésia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonésia jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonésia, jang berkedaulatan rakjat, dengan berdsarkan kepada: ke-Tuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknja, menurut dasar kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permusjawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakjat Indonesia."

Namun, tak cukup sampai di situ. Preambule tersebut, rupanya masih menjadi polemik di kalangan pendiri bangsa. Mohammad Hatta, misalnya, tetap berpandangan bahwa Islam tidak perlu menjadi dasar negara secara formal. Islam tetap menjadi semangat dan dasar moral.

Akhirnya, dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, tujuh kata dalam preambule, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Alasannya, terdapat keberatan dari satu kelompok anak bangsa terkait dengan tujuh kata dalam Preambule tersebut. Demi menjaga keutuhan bangsa, akhirnya, Moh. Hatta mendiskusikan tentang rencana penghapusan tersebut kepada tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim.

Saat mengetahui keberatan dan potensi perpecahan, Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim -- sebagai representasi dari 2 organisasi Islam terbesar: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama -- pun setuju dengan penghapusan tujuh kata tersebut. Ki Bagus Hadikusumo, misalnya, mengatakan:

"Di dalam keterangan Tuan Syusa tadi hanya satu perkara yang kecil sekali yang akan saya minta dicabut atau dihilangkan. Saya menguatkan voorstel Kiyai Sanusi dalam pembukaan di sini yang mengatakan bahwa perkataan dengan kewajiban umat Allah swt ”bagi pemeluk-pemeluknya” adalah menurut keterangan Kiyai Sanusi tidak ada haknya dalam kata-kata Arab dan menambah janggalnya kata-kata. Jadi tidak ada artinya dan menambah kejanggalan, menambah perkataan yang kurang baik, menunjukkan pemecahan kita. Saya harap supaya ”bagi pemeluk-pemeluknya” itu dihilangkan saja. Saya masih ragu-ragu di Indonesia banyak perpecahan-perpecahan, dan pada prakteknya maksudnya sama saja.

Kesaksian KH. Masjkur (anggota BPUPK yang juga Panglima Laskar Sabilillah) menceritakan pertemuan lima tokoh di akhir bulan Mei 1945, yang membahas tentang dasar negara yang akan diresmikan oleh BPUPK. Tim Arsip Nasional Republik Indonesia, dalam hal ini dilakukan oleh M. Dien Madjid, sempat melakukan wawancara kepada Kiai Masjkur. Berikut adalah transkripsi sejarah lisan yang disampaikan oleh Kiai Masjkur tersebut:

“... di rumah Mohamad Yamin, saya, Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dari Yogyakarta. Bertiga, berempat dengan Yamin. Bung Karno datang. Kita berhenti omong-omong itu.
– Lantas Bung Karno bertanya: ‘Ada apa?’
– ‘Kita ini ingin dasar Islam tetapi kalau dasar Islam, negara ini pecah. Bagaimana kira-kira umat Islam bisa bela tanah air, tapi tidak pecah?’
– Bung Karno berkata: ‘Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini?’
– Yamin mengatakan: ‘Zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Apa kebiasaannya? Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan. Minta keselamatan, minta apa begitu.’
– Lantas Bung Karno berkata: ‘Nah! Ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan, cuma tidak tahu dimana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu, nyekar, itu mencari Tuhan,’ Kata Bung Karno, ‘Kalau begitu, negara kita dari dulu itu sudah Ketuhanan! Sudah Ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Ketuhanan! Bagaimana Islam? Ketuhanan! Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Mufakat? Bangsa Ketuhanan. Tulis! Tulis! Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?’" (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).

Selanjutnya, kelima tokoh tersebut melanjutkan dialog dengan topik perikemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana percakapan berikut:
– "Bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa, kalau datang dikasih wedang, kalau makan diajak makan. Pokoknya begitu toleransinya, begitu rupa, itulah bangsa Jawa dulu, sampai-sampai kalau sama-sama menemani."
– "Kalau begitu," kata Bung Karno, "Bangsa Indonesia itu dulu bangsa yang peri kemanusiaan. Satu sama lain suka menolong. Kerjasama, perikemanusiaan."
– Lantas kita, sama Wahid Hasyim, kita ... "Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah puteri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah, ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya benar, benar ini memang.
– Lantas ada lagi. Bung Karno katakan: 'Siapa dulu ...?
– Kahar Muzakkir lontarkan: 'Ada orang budayanya tidak mau dipersentuh tangannya dengan orang bawahan. Kalau beri apa-apa dilemparkan. Umpamanya orang bawahan, pengemis. Kasih uang, dilemparkan saja. Kalau dalam Islam tidak bisa. Di dalam Islam harus diserahkan yang baik. Jadi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Adabnya ini tadi" (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).

Cerita Kiai Masjkur kepada M. Dien Madjid (tim dari Arsip Nasional Republik Indonesia yang mewawancarai), berlanjut pada diskusi tentang gotong royong, musyawarah mufakat. Berikut adalah transkripsi dialog tersebut:

"Lantas, sampai kepada orang Indonesia itu dulu, orang Jawa itu dulu, suka memberikan apa-apa sama tetangganya. Kalau rumah ini tak punya cabe, minta sama rumah sini, kalau tidak punya garam, minta sama rumah sini, kan begitu. Jadi orang Jawa dulu, kalau masak di rumah, minta garam pada tetangga ... ini diusulkan oleh Bung Karno ... ini namanya tolong-menolong. Gotong Royong. Lantas ada lagi, bangsa Jawa itu dulu, sampai kepada ada lima itu. Begini kalau ada apa, kumpul orang-orang desa itu. Satu sama lain tanya bagaimana baiknya begini, baiknya begini. Ini dikatakan oleh Bung Karno musyawarah. Jadi bangsa kita itu dulu suka musyawarah. Kalau mau kawinkan anaknya mufakatan, kalau mau menamakan anaknya dinamakan siapa mufakatan, yang diambil suara biasanya yang tertua. Bung Karno katakan musyawarah perwakilan. Lantas perkara orang Jawa itu dulu, diminta apa-apa, minta apa-apa dikasihkan. Sampaian minta apa, biar di sini habis, diberikan. Solidaritas sosialnya. Lalu ditanyakan kepada Islam. Islam memang zakat, kita kewajiban zakat, kita memberikan sama fakir miskin, yang kaya memberikan ke fakir miskin, jadi sampai kesimpulan lima itu" (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).

Kesepakatan tentang lima dasar yang dikenal Pancasila juga diungkap oleh Kiai Masjkur, sebagai berikut:

"Kesimpulan lima tadinya mau ditambah, tapi kita umat Islam mengatakan, rukun Islam itu lima, jadi lima ini saja bisa dikembangkan satu per satu, tetapi jangan ditambah. Hitungannya supaya bisa lima. Ramai dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai subuh. Ini dijadikan oleh Bung Karno Pancasila, menjadikan penggantinya dasar Islam negara. Kita umat Islam mengatakan kalau dasar Islam itu isimnya diambil, kalau Pancasila itu musamahnya(sic: musama) yang diambil. Sila-sila itu musamanya Islam. Lima ini kita umat Islam, ini sebagai musamanya, isi Islam, isim Islam, musamanya, Pancasila. Saya, Wahid Hasyim..." (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1988).

Lalu, bagaimana sebenarnya argumentasi masing-masing kelompok tersebut? Pertanyaan ini membawa kita pada keharusan melakukan klasifikasi pemikiran tentang hubungan agama dan negara.

Sebagaimana yang lazim diketahui, dua pandangan tentang hubungan agama dan negara itu dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menginginkan Indonesia tidak berdasarkan pada agama. Masuk dalam kelompok pertama ini adalah Soekarno, Hatta, Moh. Yamin, Achmad Soebarjo, A.A Maramis. dan lain sebagainya.

Kedua, kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan Islam. Masuk dalam kelompok ini adalah Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, M. Natsir, dan lain sebagainya. Tentu saja ada banyak tokoh lain, baik yang berada di kelompok pertama, maupun di kelompok kedua.

B. Perdebatan Dualistik tentang Hubungan Agama dan Negara dalam Pembentukan Identitas Negara Indonesia

Kelompok Pertama: Nasionalis Sekuler

Kelompok ini memandang bahwa negara Indonesia tidak bisa didasarkan kepada agama, atau secara spesifik kepada Islam, meskipun pemeluk agama Islam di Indonesia memiliki jumlah terbanyak di antara agama-agama lain. Argumentasinya, adalah agama dan negara memiliki domain yang berbeda. Agama berkaitan dengan urusan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kebenaran absolut, bersifat suci. Sementara negara menyangkut persoalan dunia dan kemasyarakatan. Karena itulah, bagi kelompok ini, negara tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusan internal agama masing-masing, apalagi memaksakan agama kepada warga negaranya.

Sebagaimana kita tahu, Indonesia memiliki banyak agama dan kepercayaan. Karena itu, menurut pandangan kelompok ini, perlu ada satu dasar yang dapat mewadahi, menampung, dan memfasilitasi keberadaan agama dan kepercayaan di Indonesia.

Soepomo secara cerdik membedakan “negara Islam” dengan “negara berdasar atas cita-cita luhur agama Islam”. Dalam negara Islam, negara tidak dipisahkan dari agama, sehingga hukum syariat Islam yang merupakan perintah Allah juga dijadikan hukum negara. Soepomo kemudian menceritakan bahwa dalam sejumlah negara Islam seperti Mesir, Iran, dan Irak, masih muncul pertanyaan, apakah hukum syariat Islam bisa disesuaikan dengan hukum internasional atau tidak? Dalam keterangannya disebutkan, ada yang membolehkan menyesuaikan dengan hukum internasional, ada juga yang mengatakan tidak boleh.

Ini tentu berbeda dengan “negara berdasar atas cita-cita luhur agama Islam”, di mana syariat islam tidak menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam suatu negara, melainkan negara mengambil spirit dan semangat dari Islam. Karena itulah, Soepomo menolak gagasan negara Islam itu. Namun demikian, bukan berarti negara kita, demikian Soepomo menjelaskan, adalah negara “a-religius”, melainkan sebuah negara yang memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, menjaga cita-cita moral rakyat Indonesia. Budi pekerti kemanusiaan yang luhur itu juga yang dianjurkan oleh Islam.

Jika Islam menjadi dasar negara, itu sama saja dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Soekarno menentang hal ini. Soekarno mengagumi Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Attaturk, yang disebut Soekarno sebagai langkah modern dan revolusioner karena ia memisahkan agama dan negara.

“Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara,” tulis Sukarno dalam artikelnya berjudul “Apa Sebab Turki Memisahkan Antara Agama dan Negara” yang termuat dalam salah satu edisi surat kabar Pandji Islam tahun 1940.

Kelompok Kedua: Nasionalis-Islam

Sementara kelompok kedua berpandangan bahwa Islam bukan saja mencakup moral, tetapi juga berkaitan dengan sosial dan politik. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia. Lebih dari itu, dalam pandangan M. Natsir, Islam adalah agama mayoritas bangsa Indonesia sehingga Islam perlu menjadi dasar negara.

Menurut Natsir, Islam memiliki nilai-nilai sempurna bagi kehidupan bernegara dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dengan penuh toleransi. Bahkan, jikapun Islam tidak menjadi dasar negara, bagi Natsir tidaklah masalah, dengan catatan hukum Islam dapat diterapkan. “Negara bukanlah tujuan, melainkan hanyalah alat untuk mewujudkan ajaran-ajaran Islam,” tulis Natsir dalam Pandji Islam (15 Juli 1940).

Sejumlah argumen untuk mendukung perlunya menjadikan Islam sebagai dasar negara banyak merujuk kepada sejumlah ayat dalam al-Qur’an, sekaligus juga praktik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, terutama di Madinah.

Islam, menurut Ki Bagus Hadikusumo, mengajarkan empat perkara, yakni iman, ibadah, amal saleh, dan berjihad di jalan Allah. Apabila keempat ajaran ini diterapkan dengan sungguh-sungguh di Indonesia, kata Ki Bagus, “[...] alangkah sentosa, bahagia, makmur, dan sejahteranya negara kita ini.”

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembahasan mengenai dinamika perumusan Pancasila melalui sidang BPUPK dan perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara merupakan cerminan dari proses demokrasi yang indah dalam rangka mencari rumusan dasar negara Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan pendiri bangsa, kesepakatan akhir dicapai dengan menyusun preambule yang menggambarkan komitmen untuk menciptakan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Preambule ini menggambarkan semangat persatuan dalam kerangka musyawarah perwakilan.

Selama proses perumusan Pancasila, terdapat perdebatan mengenai peran agama dalam negara. Kelompok yang ingin Islam menjadi dasar negara dan kelompok yang menginginkan negara Indonesia tidak berdasarkan agama memiliki argumen dan pandangan masing-masing. Meskipun terdapat perbedaan pandangan, pada akhirnya, melalui diskusi dan musyawarah, tujuh kata kontroversial dalam preambule dihapuskan agar mencerminkan semangat persatuan dan menghindari perpecahan.

Dalam menghadapi perbedaan pendapat, Soekarno dan para tokoh lainnya menunjukkan sikap saling menghormati dan mencari titik temu. Kepatuhan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kerjasama, gotong royong, dan musyawarah menjadi landasan penting dalam perumusan Pancasila. Meskipun Islam tidak dijadikan dasar negara secara formal, nilai-nilai Islami tetap menjadi inspirasi dalam pembentukan identitas negara Indonesia.

B. Saran

Melalui pembahasan mengenai dinamika perumusan Pancasila dan perdebatan tentang hubungan agama dan negara, terdapat beberapa saran yang dapat diambil, yakni:
  1. Terus memelihara semangat persatuan dan kerjasama dalam masyarakat Indonesia. Sikap saling menghormati perbedaan pendapat dan upaya mencari titik temu perlu ditingkatkan guna menjaga keutuhan bangsa.
  2. Pendidikan tentang nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, gotong royong, dan musyawarah perlu diperkuat dalam kurikulum pendidikan.
  3. Pembahasan dan dialog terbuka mengenai isu-isu sensitif seperti hubungan agama dan negara harus terus diadakan. Musyawarah dan dialog dapat menjadi sarana untuk mencari solusi yang mengakomodasi berbagai pandangan dan meminimalkan potensi perpecahan.
  4. Menghormati hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Negara harus tetap memastikan kebebasan beragama dan melindungi hak-hak semua warga tanpa diskriminasi.