Hubungan Ajaran Punarbhawa dengan Karmaphala Sebagai Wahana Memperbaiki Kualitas Diri

Ajaran karmaphala dan punarbhawa menjadi dasar keyakinan masyarakat Hindu dalam melaksanakan kehidupan spiritualnya maupun kehidupan bermasyarakat. Pada kehidupan spiritual manusia akan selalu mendekatkan dirinya dengan Hyang Widhi Wasa untuk senantiasa melaksanakan ajaran agama. Pada kehidupan bermasyarakat, manusia akan selalu menjaga hubungan baiknya dengan orang lain agar tetap rukun, saling menghargai, menjaga semangat gotong royong, dan menerapkan nilai-nilai moderasi beragama.

Hubungan karmaphala dengan punarbhawa dijelaskan dalam Manawadharmasastra XII. 9 dan XII. 40.

San rajaih Karmadogairyati, sihawaratam narah wacikaih, paksimrgatam manasair antyajatitam.

Terjemahannya:

Sebagai akibat daripada dosanya yang dilakukan oleh badan, seseorang akan menjadi benda tak bernyawa kelak dikelahirannya, kemudian akibat dosa yang dibuat oleh kata-kata akan menjadi burung atau binatang buas, dan sebagai akibat dosa yang dibuatnya oleh pikiran ia akan lahir ke kelahiran yang rendah.
(Manawadharmasastra XII. 9)

Dewatwamsatwika yanti, manusyatyvam ca rajasah, tiryah twam tamasa nityam ityessa triwidha gatih.

Terjemahannya:

Mereka yang memiliki sifat-sifat satwam akan mencapai alam dewata, mereka yang memiliki sifat-sifat rajah mencapai alam manusia dan mereka yang memiliki sifat-sifat tamah akan terbenam pada sifat-sifat binatang, itulah tiga jenis perbuatan.
(Manawadharmasastra XlI. 40)

Bila seseorang banyak berbuat dosa dalam hidupnya, maka menderitalah ia di dunia ini dan begitu pula sesudahnya. Hendaknya seseorang selalu berbuat baik, agar mendapat pahala yang baik pula. Pandanglah kelahiran sebagai manusia merupakan suatu anugrah Tuhan untuk memperbaiki karma.

Tentang kelahiran sebagai manusia disebutkan dalam kitab suci sebagai berikut.

Matangnya haywa juga wwang manastapa an tan paribhawa, si dadi wwang ta pwa kagongakna ri ambek apayapan paramadurlabha ikang si janma manusa ngaranya, yadiapi candala yonituwi.

Terjemahannya:

Oleh karena itu, janganlah sekali-kali bersedih; sekalipun hidupmu tidak makmur; dilahirkan menjadi manusia itu, hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun.
(Sarasamuscaya 1. 3)

Iyam hi yonih prathama yaam prapya jagatipate, atmanam sakyate tratum Karmabhih cubhalaksanaih.

Apan iking dadi wwang, utama juga ya, niinitaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang qubhaKarma, hinganing kotamaning dadi wwang ika.

Terjemahannya:

Menjelma menjadi manusia adalah hal yang sangat utama, karena ia dapat menolong dirinya dari kesengsaraan dengan jalan berbuat baik. (Sarasamuscaya 4)

Kesempatan lahir sebagai manusia merupakan saat yang baik untuk berkarma, karena semua pahala itu akan datang pada waktunya. Liku-liku karma dari beberapa kehidupan sangat sulit diketahui cara kerjanya, karena ada di luar batas pikiran manusia. Walaupun demikian, karma itu tidak lupa. Ia akan datang bila saatnya telah tiba pada orang yang melakukannya.

Berdasarkan uraian diatas, hubungan karmaphala dengan punarbhawa adalah sama-sama memberikan motivasi kepada semua orang untuk meningkatkan kualitas hidupnya menuju kesempurnaan, yaitu menyatunya atman dengan Brahman atau moksa.

Komentar