Dasar Hukum Asuransi Syariah menurut Al-Qur`an, Hadis, Para Fuqaha dan MUI

Berikut adalah dasar hukum asuransi Syariah menurut Al-Qur`an, Hadis, Para Fuqaha dan MUI

1. Hukum Asuransi dalam Al-Qur`an dan Hadis

a. QS. al-Maidah/5: 2
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”

b) QS. an-Nisa’/4: 9
 “Dan hendaklah takut (kepada Allah Swt.) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”

c)  Hadis Riwayat Muslim dari Abu Hurairah RA
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad Saw. bersabda: Barang siapa yang menghilangkan kesulitan duniawi seorang mukmin, maka Allah Swt. akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah Swt. akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat” (HR. Muslim).

2. Hukum Asuransi Menurut Para Fuqaha
Perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang hukum asuransi, sejak pertama kali dikaji hingga saat ini, masih terus berlanjut.

Ada golongan ulama fikih yang menyatakan hukum asuransi itu mubah, sementara golongan yang lain menyatakan haram.

Dan perbedaan pendapat tentang asuransi itu pun juga tidak lepas pada pembahasan mengenai status hukum asuransi syariah atau takaful. Bahkan di Indonesia ada yang menyatakan baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah, keduanya sama-sama haram. Alasannya adalah karena pertimbangan adanya aspek riba dan gharar (transaksi bisnis yang mengandung ketidakpastian).

Para ahli fikih klasik, tidak ada yang membahas tentang persoalan asuransi. Sehingga tidak ditemukan dalil yang melarang praktik asuransi.

Hal itulah kemudian yang menjadi alasan golongan ulama fikih membolehkan asuransi karena berpegang pada kaidah ushul fikih: 

Artinya: hukum asal sesuatu adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”

Di sisi lain ada pendapat ketiga yang disampaikan oleh para ulama fikih kontemporer yang menyatakan bahwa asuransi terbagi menjadi dua macam yaitu asuransi tijari atau asuransi yang bersifat komersil dan profit oriented maka hukumnya haram.

Alasannya pada asuransi tijari ini terdapat praktik riba dan gharar. Dan yang kedua adalah asuransi ta’awuni atau tabarru’, yang merupakan asuransi sosial dan landasannya adalah tolong menolong sehingga para ulama bersepakat, hukum asuransi ini mubah atau boleh.

3. Hukum Asuransi Syariah di Indonesia menurut MUI
Pertumbuhan dan perkembangan asuransi syariah sesungguhnya merupakan solusi di tengah anggapan bahwa esensi asuransi bertentangan dengan syariat agama karena terdapat praktik riba dan gharar tersebut. Oleh sebab itulah pada tahun 2001 MUI menerbitkan fatwa bahwa asuransi syariah secara sah diperbolehkan dalam ajaran agama Islam.

Fatwa MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tersebut mempertegas kehalalan asuransi syariah yang di antaranya mengatur tentang prinsip umum dan akad asuransi syariah. Dengan demikian jaminan perlindungan/takaful yang ditawarkan melalui program asuransi syariah ini jelas hukumnya halal sesuai dengan fatwa yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sedangkan regulasi yang mengatur tentang seluk beluk dan pengelolaan asuransi di Indonesia diatur dalam UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Undang-undang ini mengatur tidak hanya asuransi konvensional, namun juga mengatur tentang tata kelola asuransi syariah dengan sangat jelas dan terperinci.

Komentar