Pesan Alkitab untuk Orang Tua Dalam Mendidik Anak

Pesan alkitab untuk orang tua dalam mendidik anak adalah adalah Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6) serta “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4).

Tujuannya adalah agar orang tua dapat mendidik anak-anaknya sesuai dengan ajaran Tuhan.

Berikut adalah uraian tentang Pesan Alkitab untuk Orang Tua Dalam Mendidik Anak.

Setiap orang lahir karena memiliki orang tua. Maksudnya, manusia sebagai ciptaan Tuhan hadir melalui keberadaan. Perlu diingat bahwa Tuhan adalah Maha Pencipta, karena itu apapun yang ada di dunia ini adalah milik Tuhan, termasuk setiap manusia.

Walaupun secara hukum tercatat bahwa anak adalah milik orang tuanya, namun Tuhanlah yang memiliki anak (“Sungguh, semua jiwa Aku punya! Baik jiwa ayah maupun jiwa anak Aku punya!” Yehezkiel 18:4a).

Itulah sebabnya semua tindakan yang dilakukan orang tua kepada anak harus diperhitungkan baik-baik, apakah memang seturut dengan kehendak Tuhan.

Mungkin, ada orang tua yang menganggap anak sebagai barang? Bila menguntungkan disimpan, bila tidak menguntungkan dilepaskan.

Sebenarnya, Alkitab berisi banyak pesan kepada orang tua maupun anak. Apabila kemudian orang tua mengalami dukacita karena kelakuan anak, inipun sudah diingatkan di dalam Alkitab (“Anak yang bijak mendatangkan sukacita kepada ayahnya, tetapi anak yang bebal adalah kedukaan bagi ibunya” Amsal 10:1).

Sebagai pihak yang dititipkan anak, orang tua harus memberi kesempatan kepada anak untuk bertumbuh sehingga anak menemukan apa yang Tuhan inginkan untuknya secara pribadi, bukan sekadar mengikuti keinginan orang tua.

Itu sebabnya tanggung jawab mengasuh dan mendidik anak terletak pada orang tua, tidak boleh diberikan kepada orang lain, walaupun orang itu dianggap cukup terdidik, misalnya guru di sekolah.

Menurut Dobson (2014), seorang psikolog Kristen yang mengelola Focus on the Family di California, Amerika Serikat, berpesan kepada para orang tua, khususnya ayah, bahwa hubungan orang tua dengan anak haruslah me-rupakan hubungan yang akrab dan penuh kehangatan.

Anak tidak boleh ragu-ragu untuk membahas hal-hal yang membingungkan bagi mereka bersama ayah. Kesempatan untuk orang tua dalam membina kehangatan dengan anak tidaklah lama, karena saat anak memasuki usia remaja, yaitu saat menginjak bangku SMP, umumnya anak akan menjadi lebih akrab dengan teman sebaya dibandingkan dengan orang tua.

Hal terindah yang dapat dilakukan orang tua bagi anak-anaknya adalah menjadi sahabat. Begitulah pesan Charlotte Priatna (2020), seorang konselor sekaligus pendiri sekolah Kristen Athalia di Jakarta.

Sehubungan dengan hal ini, ada tiga tanggung jawab orang tua bagi anak-anaknya, yaitu tanggung jawab secara spiritual, emosional, dan fisik. Tanggung jawab spiritual adalah agar anak berada di jalan yang benar sehingga ia menjalani hidup yang baik ketika sudah menjadi dewasa.

Setidak-tidaknya, ada dua ayat Alkitab yang dapat dijadikan rujukan untuk hal ini. “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6) serta “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:4).

Ayat Alkitab tentang tanggung jawab emosional dapat ditemukan misalnya di Kolose 3:21, “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.” Kepada orang tua, Dobson (2014) berpesan agar jangan sampai orang tua melakukan hal-hal yang justru membuat anak menjadi rendah diri.

Hal-hal itu misalnya, tidak menghargai usaha anak, menuntut anak untuk lebih baik dari anak-anak lain.

Tanggung jawab fisik dapat ditemukan dari ayat berikut, “Orang baik meninggalkan warisan bagi anak cucunya, tetapi kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar” (Amsal 13:22) dan “Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman” (1 Timotius 5:8).

Dengan demikian, orang tua harus mempertimbangkan dengan sangat hati-hati, apakah mereka memiliki kemampuan yang cukup memadai untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya. Baik itu kemampuan secara finansial, kemampuan mengasihi anak dengan utuh, dan kemampuan mendidik merekaagar terus bertumbuh secara spiritual.

Dalam hal ini, kita harus mengkritisi apakah pepatah “banyak anak banyak rezeki” masih bisa diterapkan pada masa kini.

Kini kita tahu bahwa menjadi orang tua merupakan hal yang berat. Sayangnya, belum ada sekolah untuk membekali tiap pasangan bagaimana menjadi orang tua yang baik.

Meskipun ada banyak seminar untuk orang tua, belum tentu seminar itu memang membekali orang tua untuk menjadi orang tua seperti yang ditegaskan oleh Alkitab. 

Analisis yang dilakukan oleh Hoeve dkk. (2009) terhadap 161 hasil penelitian tentang hubungan antara perlakuan orang tua dengan kenakalan anak menemukan bahwa kenakalan anak sebagian disebabkan oleh orang tua yang menolak kehadiran anak, tidak peduli terhadap anak bahkan menunjukkan permusuhan.

Analisis yang dilakukan oleh Pinquart (2017) terhadap 1.435 hasil penelitian tentang hubungan antara perilaku orang tua dengan masalah yang diperlihatkan oleh anak mereka menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang sering menghukum dan terlalu banyak memberikan aturan kepada anak serta bersikap otoriter menghasilkan anak dan remaja yang berperilaku agresif, hiperaktif, memberontak, bahkan ada juga yang mengalami gangguan kejiwaan ketika anak bertambah dewasa.

Kita tidak boleh menutup mata terhadap pentingnya menjaga hubungan yang baik antara orang tua dan anak.

Mana yang lebih berat, tugas ayah atau ibu? Tradisi sering menempatkan tugas ibu adalah di rumah, untuk mendidik serta mengasuh anak, sedangkan tugas ayah adalah di luar rumah.

Ini tercermin misalnya dalam buku pelajaran di Sekolah Dasar ketika siswa disuruh memilih mana yang lebih tepat, ibu di rumah atau di kantor. Apakah pembagian tugas seperti ini dapat dibenarkan?

Hasil penelitian memang menemukan bahwa anak-anak, baik anak laki-laki maupun perempuan, lebih dekat kepada ibunya (Koehn & Kerns, 2018).

Sejumlah penelitian pada remaja di Indonesia juga menemukan hal yang serupa. Tentu hal ini tidak mengherankan karena umumnya mengasuh anak lebih dianggap lumrah bagi ibu dan bukan pada ayah. Namun, tanpa kedekatan dengan ayah, anak bisa mengalami kesulitan ketika sudah beranjak makin dewasa.

Saat ini mulai dilakukan penelitian yang membandingkan pengaruh dari ketidakhadiran ayah dibandingkan dengan ketidakhadiran ibu: mana yang lebih memberikan pengaruh negatif bagi pertumbuhan anak. Demuth dan Brown (2004) serta Möller dkk (2016), misalnya menemukan bahwa ketidakhadiran ayah memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap kenakalan anak dibandingkan dengan ketidakhadiran ibu.

Bahkan, ada satu kesaksian yang mengharukan seperti yang diceritakan oleh pendeta D. James Kennedy tentang temannya yang seorang misionaris. Misionaris ini menemukan bahwa mayoritas narapidana yang dilayaninya di suatu penjara tidak mengenal tokoh ayah dalam kehidupannya (Takooshian, 2016).

Ternyata, walaupun anak hanya ‘dititipkan’ oleh Tuhan kepada orang tua, sungguh tidak mudah mengasuh dan mendidik anak agar dapat bertumbuh menjadi pribadi yang mengasihi Tuhan dan sesama.

Hampir tidak mungkin untuk membiarkan orang tua menjalankan tugas sebagai pengasuh dan pendidik anak bila tidak dibekali secara memadai.

Kita berharap agar gereja menggunakan kesempatan untuk membekali orang tua dengan bertanggung jawab.

Komentar