Keteladanan Orang Tua bagi Anak Menurut Alkitab

Untuk lebih mudah dalam memahami arti keteladanan orang tua bagi anak menurut Alkitab, berikut satu ilustrasi yang bagus sekali tentang dua anak yang menyikapi secara berbeda kelakuan ayah mereka. 

Sang ayah adalah seorang pemabuk, sering memukuli istri dan anak-anak, juga sering memaki dengan kata-kata yang kotor dan tidak senonoh.

Ketika ayah meninggal, dua anak ini tumbuh menjadi orang dewasa yang berbeda kelakuannya. Yang sulung menjadi pemabuk dan terlibat dalam berbagai tindakan kriminal sehingga dimasukkan ke penjara.

Ketika ditanyakan mengapa begitu, ia menjawab, “Saya tidak punya teladan dalam keluarga. Ayahku memang juga pemabuk dan sering menyakiti hati ibu dan kami anak-anaknya.

Sangat wajar bila saya sebagai anak sulung juga tumbuh menjadi seperti ini.” Namun, anak bungsu berbeda. Ia sukses dalam karier dan menduduki jabatan sebagai pimpinan karena memang dikenal sebagai orang yang jujur, hati-hati, dan sangat peduli kepada bawahan dan rekan kerja.

Ketika ditanyakan kepadanya, mengapa ia tidak seperti ayah dan kakaknya, ia menjawab, “Ayah saya pemabuk dan sering menyakiti ibu dan kami anak-anaknya. Dia bukan ayah yang patut diteladani.

Dan ini membuat saya berpikir ‘Apakah saya mau menjadi pria yang demikian?

Ataukah ada pilihan lain dalam menjalani hidup dan memiliki masa depan?’ Kelakuan ayah saya mendorong saya untuk menjadi lebih baik karena tidak mau menimbulkan luka pada orang lain.”

Anak yang mana yang menurut kalian lebih tepat untuk diteladani? Anak sulung atau anak bungsu? Tentu anak bungsu, bukan? Sayangnya, cukup banyak orang yang memilih menjadi seperti si anak sulung yang melemparkan kondisi yang dialami kepada ayah yang tidak menjadi teladan.

Padahal, ada pilihan untuk menjadi lebih baik. Pilihan menjadi lebih baik ini didasari oleh kesadaran bahwa masa depan yang kita miliki ada di tangan kita; kondisi keluarga tidak perlu membuat kita hancur.

Beberapa waktu yang lalu ada istilah ‘madesu’ yang merupakan singkatan dari masa depan suram. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan bahwa seseorang tidak memiliki masa depan yang baik bila ia terlibat dalam berbagai tindakan kriminal, atau bila ia tidak punya bekal pendidikan, atau kekayaan yang cukup untuk membuka usaha.

Namun di Kotabumi yang terletak di Lampung Utara, Sumatera Selatan, ada patung yang dinamakan Patung Madesu.

Madesu disini juga merupakan singkatan, tetapi singkatan dari masa depan sukses. Kalian bisa mencari di internet bagaimana wujud patung Madesu ini.

Patung ini didirikan dengan tujuan mengingatkan tiap orang, terutama kaum muda bahwa sukses bisa diraih bila kita bekerja keras bermodalkan pendidikan.

Pendidikan bukan hanya dalam arti pendidikan formal yang diperoleh di bangku sekolah, tetapi juga pendidikan nonformal lainnya, termasuk pendidikan etika dan moral yang tentunya diperoleh bukan hanya di sekolah.

Menurut Packer (1973) bila hubungan anak dan ayah tidak erat, bahkan bila ayah sering menyakiti hati anak, anak akan mengalami kesulitan untuk melihat kepada Tuhan sebagai Bapa Surgawi.

Kecenderungan manusia untuk berbuat dosa menyebabkan manusia tanpa sadar melakukan hal-hal yang ternyata melukai hati Tuhan. Akan tetapi, setiap manusia tetap harus bertanggung jawab untuk apa yang telah dilakukannya karena pengadilan Allah berlaku untuk tiap manusia.

Mereka yang memahami hal ini tentu akan berhati-hati dalam berpikir, bertindak dan berinteraksi dengan orang lain. Pengampunan Tuhan pun sempurna, berlaku bagi mereka yang mengakui dirinya berdosa di hadapan Tuhan dan sesama, “Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah” (Roma, 9:16).

Allah yang digambarkan di Perjanjian Lama adalah Allah Sang Pencipta yang bertindak tegas dalam menghukum mereka yang bersalah. Untuk memberikan gambaran tentang ketegasan Allah, kita bisa lihat di Imamat 10:1-2, “Kemudian anak-anak Harun, Nadab dan Abihu, masing-masing mengambil perbaraannya, membubuh api ke dalamnya serta menaruh ukupan di atas api itu.

Dengan demikian mereka mempersembahkan ke hadapan Tuhan api yang asing yang tidak diperintahkan-Nya kepada mereka.

Maka keluarlah api dari hadapan Tuhan, lalu menghanguskan keduanya, sehingga mati di hadapan Tuhan.”
Allah dalam ayat-ayat Alkitab di atas adalah Allah yang menghukum apabila manusia tidak melakukan perintah-Nya.

Akan tetapi, di dalam Perjanjian Baru, Allah yang sama digambarkan sebagai Allah yang dapat dihampiri oleh manusia dengan bebas tanpa rasa takut, “Di dalam Dia kita beroleh keberanian dan jalan masuk kepada Allah dengan penuh kepercayaan oleh iman kita kepada-Nya.” (Efesus 3:12)

Tuhan Yesus memberikan pedoman bahwa kita memandang Allah sebagai Bapa yang sangat mengasihi anak-anak-Nya. Dalam Doa Bapa Kami, kalimat pertama adalah ‘Bapa kami yang di surga’ (Matius 6:9).

Hubungan sebagai seorang bapa dengan anak-anaknya inilah yang memberikan kesan kehangatan sehingga selaku pengikut Kristus kita tidak usah ragu-ragu untuk menghampiri-Nya setiap saat.

Dalam hal ini Packer dengan tegas menyatakan bahwa walaupun seseorang memiliki keluarga yang hancur dan tidak harmonis, tetap ada kemungkinan untuk memiliki keluarga yang harmonis ketika ia mendapat kesempatan untuk membangun rumah tangganya.

Menurut Packer (1973), ada tiga sikap yang bisa kita miliki terhadap Allah Bapa, tergantung dari pengalaman kita dengan ayah kita, yaitu:
  1. Pertama, ketika ayah kita sudah merupakan ayah yang baik, kita akan menyatakan, “Saya sudah memiliki ayah yang baik. Ternyata, Tuhan jauh lebih baik dari ayah saya.”
  2. Kedua, “Ayah saya sangat mengecewakan, tetapi kini saya menemukan Tuhan yang tidak akan pernah mengecewakan saya.”
  3. Ketiga, “Saya tidak pernah punya pengalaman memiliki ayah. Tetapi, kini saya memiliki Tuhan sebagai Bapa yang sempurna.”

Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi ini tidak boleh menjadi halangan untuk mengenal Allah Bapa dan membina hubungan denganNya. Melalui Yesus Kristus, kita belajar bahwa hubungan Allah Bapa dengan Allah Putra adalah hubungan yang istimewa (“Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (Yohanes 17:23).

Bahkan, sesaat setelah Yesus bangkit, kata-kata-Nya sungguh menghibur: Kata Yesus kepadanya (Maria Magdalena), “Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.” (Yohanes 20:17).

Sungguh indah pesan Alkitab bagi orang tua mau pun bagi kita selaku anak. Tidakkah kita merindukan hubungan yang hangat dan akrab dengan orang tua kita? Rencana Tuhan yang indah untuk keluarga kita akan berlaku bila kita dengan sungguh-sungguh mengasihi Tuhan dan menaati perintahperintah-Nya.

Komentar