Kematian Menurut Iman Kristen lengkap dengan Penjelasannya

Apakah kamu pernah membaca iklan dukacita, atau membaca karangan bunga duka cita?

Kalau kita ditanyakan apa rasanya mati, tentu kita tidak bisa menjawabnya karena memang belum pernah mengalaminya. Namun, kesaksian Alkitab dengan sangat jelas memberikan kita dasar-dasar untuk meyakini bahwa kematian adalah cara memasuki kehidupan baru, yaitu kehidupan kekal bersama Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus.

Dunia medis memiliki panduan tersendiri untuk menetapkan bahwa seseorang sudah meninggal. Seorang yang sudah dinyatakan meninggal, tidak akan bisa hidup lagi.

Namun, bagi pengikut Kristus, kematian adalah meninggalkan dunia ini dan menuju ke surga seperti yang dijanjikan oleh Yesus dalam Yohanes 14:1-3, “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.”

Jadi, kita tidak perlu takut menghadapi kematian karena ini hanya perpisahan sementara dengan mereka yang kita kasihi di dunia ini untuk bertemu kembali di surga kelak. 

Beberapa penulis menggambarkan pengalaman ditinggal kekasih mereka yang dapat menolong kita untuk menghadapi kematian dengan lebih bijak.

C.S. Lewis, misalnya menuliskan jurnal tentang perasaannya ketika ditinggalkan oleh istrinya untuk selamanya.

Perasaan sedih, terluka, kesepian, ketakutan, bahkan marah meliputinya.

Sebagian marah itu ditujukannya kepada Tuhan. “Bila Engkau Mahakuasa, mengapa Engkau biarkan dia pergi dariku?”

Setelah berminggu-minggu seperti itu, Lewis mulai menerima keadaan bahwa istrinya tidak akan kembali ke dunia. untuk selamanya.

Sejalan dengan itu, yang ia tetap rasakan adalah bahwa Allah tetap setia mendampinginya, walaupun bukan dalam bentuk menghidupkan kembali istrinya.

Jurnal ini kemudian diterbitkan sebagai buku A Grief Observed.

Sikap menghadapi kematian bisa kita teladani dari Tuhan Yesus.

Pada malam terakhir, sesaat sebelum Yesus ditangkap di Taman Getsemani, Yesus berdoa dengan sungguh-sungguh sehingga peluh-Nya bercucuran seperti darah yang menetes.

Sebagai manusia, Yesus tidak ingin menerima kematian karena memang Ia tidak bersalah.

Namun, sebagai Tuhan, Ia sepenuhnya menerima bahwa kematian adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari dosa yang memang mengakibatkan kematian.

Keller (2013) menegaskan bahwa pemberitaan tentang kematian Yesus dan kebangkitan-Nya dari kematian adalah fokus dari seluruh isi Alkitab, Tuhan Pencipta yang Pengasih tidak rela bila manusia mati karena dosa, karena itu Tuhan sudah merancang suatu cara untuk mengubah kematian manusia menjadi kehidupan yang kekal, bila saja manusia mengakui Yesus sebagai Juru Selamatnya.

“Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 6: 23)

Sampai di sini, mungkin kita akan berpikir, “Tentu saja Yesus siap menghadapi kematian, karena sebagai Tuhan, Yesus tahu apa yang akan terjadi pada-Nya.”

Kesaksian yang indah bisa kita lihat dari cara Stefanus menyiapkan diri menghadapi kematian, juga sesaat setelah ia diadili di Mahkamah Agama.

“Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah.

Lalu katanya: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Lukas 7:55-56). Karena ucapannya ini, Stefanus membangkitkan amarah mereka yang hadir yang kemudian memutuskan untuk menyeret dia dan melemparinya dengan batu.

Sebelum meninggal, ini doa Stefanus, “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.” Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring, “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia.” (Lukas 7:59-60).

Jadi bagi kita, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Inilah bedanya pemahaman iman Kristen dengan agama lain.

Bagi kita, setelah kematian di dunia, kehidupan kekal sudah menanti.

Untuk mendapatkan kehidupan kekal, cukup kita mengakui dosa kita dan menerima Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat yang menebus dosa kita.

Perbuatan baik yang kita lakukan adalah wujud terima kasih karena kita sudah menerima kebaikan dari Tuhan begitu besar.

Tetapi itu bukan cara untuk mendapatkan kehidupan kekal. Itu sebabnya kita tidak mendoakan orang yang sudah meninggal; yang kita doakan adalah keluarga yang ditinggalkan agar mereka mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Tuhan.

Salah satu lagu yang sering dinyanyikan untuk memberi penghiburan kepada yang berduka adalah Kidung Jemaat No. 332.

Berikut liriknya:

Kekuatan serta Penghiburan
Kekuatan serta penghiburan diberikan Tuhan padaku.
Tiap hari aku dibimbing-Nya; tiap jam dihibur hatiku.
Dan sesuai dengan hikmat Tuhan ‘ku dib’rikan apa yang perlu.
Suka dan derita bergantian memperkuat imanku.

Tiap hari Tuhan besertaku, diberi rahmat-Nya tiap jam.
Diangkat-Nya bila aku jatuh, dihalau-Nya musuhku kejam.
Yang nama-Nya Raja Mahakuasa, Bapa yang kekal dan abadi, mengimbangi duka dengan suka dan menghibur yang sedih.

Komentar