Horton dan Chester [1999] menyatakan bahwa penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma social

Horton dan Chester [1999] menyatakan bahwa penyimpangan adalah setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma social.

Menurut mereka, inilah yang dinamakan social deviation atau penyimpangan sosial. Merujuk pada konsep mereka,

a. apa yang dimaksud dengan free-will? Apa peran free-will terkait dengan tingkah laku manusia?

b. apa yang dimaksud penyimpangan sosial/social deviation?

c. apa norma-norma sosial/social norms itu berkaitan dengan pengawasan sosial/social control?

d. apa yang dimaksud norma? coba Anda jelaskan pendapat Graham Summer terkait dengan norma.

Berikut referensi jawabannya:

a. Kehendak Bebas (Free-Will) dan Peranannya dalam Tingkah Laku Manusia

Kehendak bebas, atau free-will, dapat dipahami sebagai kapasitas yang dimiliki individu untuk membuat pilihan dan mengambil keputusan secara sadar dan mandiri.

Gagasan ini mengasumsikan bahwa manusia bukanlah entitas yang sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti takdir, nasib, genetika, ataupun struktur sosial yang melingkupinya.

Sebaliknya, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, menimbang berbagai alternatif, dan bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri.

Dalam konteks sosiologi, kehendak bebas merupakan elemen agensi (agency), yaitu kemampuan individu untuk bertindak secara independen dan membentuk kehidupannya sendiri di tengah-tengah tekanan dan harapan dari masyarakat.

Peran kehendak bebas terkait erat dengan tingkah laku manusia, terutama dalam hubungannya dengan norma dan penyimpangan.

Ketika seseorang dihadapkan pada norma-norma sosial yang berlaku, ia tidak serta-merta patuh secara otomatis seperti robot.

Individu tersebut menggunakan kehendak bebasnya untuk melakukan evaluasi.

Ia mungkin mempertimbangkan keuntungan dari kepatuhan, seperti penerimaan sosial dan keharmonisan, serta potensi risiko dari penyimpangan, seperti sanksi, cemoohan, atau hukuman.

Keputusan untuk mematuhi atau melanggar sebuah norma merupakan hasil dari proses internal ini.

Oleh karena itu, penyimpangan sosial tidak bisa dilihat semata-mata sebagai produk dari kegagalan sosialisasi, melainkan juga sebagai sebuah pilihan sadar yang diambil oleh individu berdasarkan tujuan, nilai, atau keyakinan pribadinya yang mungkin berbeda dari mayoritas.

b. Penyimpangan Sosial (Social Deviation)

Penyimpangan sosial, sesuai dengan definisi Horton dan Hunt, adalah setiap bentuk perilaku yang oleh sejumlah besar orang dalam suatu masyarakat atau kelompok dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang berlaku.

Poin penting dari definisi ini terletak pada frasa "dinyatakan sebagai" atau "dianggap sebagai".

Hal tersebut menunjukkan bahwa suatu tindakan tidak secara inheren atau alamiah bersifat menyimpang.

Sebaliknya, sebuah tindakan menjadi menyimpang ketika masyarakat atau kelompok yang dominan memberikan label atau cap "menyimpang" pada tindakan tersebut dan pada pelakunya.

Sifat relatif dari penyimpangan sosial menjadi sangat jelas di sini; apa yang dianggap menyimpang di satu budaya atau waktu mungkin dianggap normal di budaya atau waktu yang lain.

Sebagai contoh, memiliki tato di tubuh pada beberapa dekade lalu di Indonesia seringkali diasosiasikan dengan perilaku kriminal atau premanisme, sehingga dianggap sebagai sebuah penyimpangan.

Namun saat ini, tato telah menjadi bagian dari ekspresi seni dan gaya hidup yang lebih diterima oleh kalangan luas.

Perilakunya sama (membuat tato), tetapi reaksi dan penilaian sosial terhadapnya telah berubah.

Dengan demikian, penyimpangan sosial mencakup spektrum yang sangat luas, mulai dari pelanggaran ringan terhadap adat istiadat sehari-hari (seperti menyerobot antrean) hingga pelanggaran serius terhadap nilai-nilai moral (seperti perzinahan) dan pelanggaran terhadap hukum formal (seperti pencurian atau pembunuhan).

c. Keterkaitan Norma Sosial (Social Norms) dengan Pengawasan Sosial (Social Control)

Norma sosial dan pengawasan sosial memiliki keterkaitan yang sangat fundamental dan tidak dapat dipisahkan; keduanya bekerja bersama untuk menciptakan keteraturan dalam masyarakat.

Norma sosial adalah seperangkat aturan, standar, atau harapan kolektif mengenai bagaimana seharusnya orang berpikir, merasakan, dan bertindak dalam situasi tertentu.

Norma-norma ini berfungsi sebagai panduan tidak tertulis (dan terkadang tertulis) yang membuat interaksi sosial menjadi lebih dapat diprediksi dan teratur.

Tanpa norma, kehidupan sosial akan menjadi kacau karena setiap orang akan bertindak hanya berdasarkan dorongan pribadinya.

Di sisi lain, pengawasan sosial (atau pengendalian sosial) merujuk pada serangkaian cara, mekanisme, dan strategi yang digunakan oleh masyarakat untuk mendorong kepatuhan terhadap norma dan mencegah terjadinya penyimpangan.

Pengawasan sosial adalah mekanisme penegakan dari norma sosial. Jika norma adalah "aturan mainnya", maka pengawasan sosial adalah "wasit dan sanksinya".

Pengawasan sosial dapat bersifat informal, seperti melalui teguran, gosip, pujian, atau pengucilan oleh teman dan keluarga.

Dapat pula bersifat formal, yang dijalankan oleh lembaga-lembaga resmi seperti kepolisian, pengadilan, dan sistem hukum yang menerapkan sanksi berupa denda, penjara, atau hukuman lainnya.

Dengan demikian, norma sosial memberikan standar perilaku, sementara pengawasan sosial memastikan bahwa standar tersebut diikuti oleh anggota masyarakat melalui sistem ganjaran (untuk konformitas) dan hukuman (untuk deviasi).

d. Pengertian Norma Menurut Pandangan William Graham Sumner

Norma secara umum adalah kaidah atau pedoman perilaku yang dianggap pantas dan wajar dalam suatu kelompok masyarakat.

Salah satu penjelasan paling berpengaruh mengenai klasifikasi norma datang dari sosiolog Amerika, William Graham Sumner, dalam karyanya yang monumental, Folkways (1906).

Sumner berpendapat bahwa norma tidaklah seragam, melainkan memiliki tingkatan berdasarkan derajat kepentingan dan kekuatan sanksi yang menyertainya.

Ia membagi norma ke dalam tiga tingkatan utama.

Pertama adalah Cara (Folkways). Kategori ini merujuk pada kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat yang mengatur interaksi sosial sehari-hari.

Pelanggaran terhadap folkways tidak dianggap sebagai ancaman serius bagi tatanan sosial.

Sanksi yang diberikan biasanya ringan dan tidak formal, seperti tatapan aneh, cemoohan halus, atau dianggap tidak sopan.

Contohnya termasuk cara makan yang benar, cara berpakaian untuk acara tertentu, atau kebiasaan mengantre.

Seseorang yang melanggar folkways mungkin akan dianggap aneh atau tidak tahu etiket, tetapi tidak akan dianggap sebagai orang jahat.

Kedua adalah Kebiasaan (Mores). Kategori ini merupakan norma-norma yang memiliki nilai moral yang kuat dan dianggap sangat penting bagi kesejahteraan dan keutuhan masyarakat.

Pelanggaran terhadap mores dianggap sebagai ancaman serius terhadap nilai-nilai inti kelompok.

Reaksi sosial terhadap pelanggarannya jauh lebih keras, mulai dari pengucilan sosial, celaan keras, hingga sanksi yang lebih berat.

Contoh mores adalah larangan mencuri, berbohong, membunuh, atau melakukan perbuatan asusila.

Pelanggaran terhadap mores tidak hanya dianggap salah, tetapi juga jahat atau amoral.

Ketiga adalah Tata Kelakuan yang Terlembagakan atau Hukum (Laws). Kategori ini adalah mores yang dianggap begitu penting sehingga diresmikan menjadi aturan tertulis dan ditegakkan secara formal oleh negara atau otoritas politik.

Hukum memiliki sanksi yang jelas, spesifik, dan diberlakukan oleh aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim.

Semua tindakan kriminal seperti pencurian, perampokan, dan pembunuhan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana adalah contoh dari norma yang telah menjadi hukum.

Menurut Sumner, hukum pada dasarnya adalah formalisasi dari mores yang paling mendasar dalam suatu masyarakat.

Komentar