Refleksi Guru Mengintegrasikan Pengelolaan Emosi dalam Rencana Pembelajaran
Setelah Anda berkolaborasi, Anda dapat memasukkan materi pembelajaran sosial emosional seperti pengelolaan emosi sebagai dasar penyusunan Rencana Pembelajaran atau modul ajar Anda.
Pertanyaannya:
Ketik Refleksi Anda di sini (min. 50 karakter)
Pertanyaan diatas adalah tugas mahasiswa PPG, Modul 2 Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) Topik 2: Peran Guru Sebagai Teladan di Ruang Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK).
Dasar dari pemberian soal ini terletak pada pergeseran filosofi pendidikan modern yang diusung dalam program PPG.
Kurikulum saat ini tidak lagi memandang guru hanya sebagai penyampai materi (transfer of knowledge), tetapi sebagai arsitek pengalaman belajar yang utuh.
Pemberian tugas ini berlandaskan pada pemahaman bahwa kompetensi sosial dan emosional (KSE) bukan sekadar materi tambahan untuk siswa, melainkan kompetensi fundamental yang harus dimiliki terlebih dahulu oleh sang guru.
Dengan menempatkan soal ini pada topik "Peran Guru Sebagai Teladan," program ingin menegaskan bahwa budaya positif di sekolah dimulai dari interaksi antar-guru dan tenaga kependidikan (GTK).
Kolaborasi yang disebutkan dalam soal menjadi fondasi praktik, menunjukkan bahwa KSE harus dihidupkan dalam komunitas profesional sebelum diajarkan di kelas.
Selanjutnya, tujuan utama dari soal refleksi ini adalah untuk menjembatani jurang antara teori dan praktik.
Mahasiswa PPG telah mempelajari konsep Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) secara teoretis.
Tugas ini mendorong mereka untuk melakukan langkah selanjutnya, yaitu mengoperasionalkan konsep abstrak tersebut (seperti pengelolaan emosi) ke dalam sebuah dokumen perencanaan yang konkret dan otentik (RPP atau modul ajar).
Tujuan lainnya adalah untuk melatih kemampuan metakognisi atau berpikir tentang proses berpikir mereka sendiri.
Dengan meminta "refleksi," soal ini tidak hanya ingin tahu apa yang akan mereka lakukan, tetapi mengapa mereka melakukannya dan bagaimana proses pemikiran itu mengubah cara pandang mereka sebagai calon guru profesional.
Lebih jauh lagi, tujuan yang lebih mendalam adalah untuk memulai pembentukan identitas guru yang reflektif dan empatik.
Proses merefleksikan bagaimana emosi memengaruhi pembelajaran memaksa mahasiswa untuk melihat kelas dari sudut pandang siswa.
Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan empati dan kepekaan yang akan menjadi bekal tak ternilai saat mereka benar-benar mengajar.
Soal ini secara implisit mendorong mahasiswa untuk menyadari bahwa mengelola kelas bukan hanya tentang disiplin, tetapi tentang membangun hubungan.
Dengan demikian, tugas ini bertujuan untuk membentuk pola pikir (mindset) bahwa guru yang efektif adalah guru yang mampu menjadi teladan dalam mengelola emosinya sendiri, sehingga dapat menciptakan lingkungan belajar yang aman secara psikologis.
Harapan dari pemberian tugas ini adalah agar mahasiswa PPG tidak hanya mampu menghasilkan jawaban yang "benar" secara teoretis, tetapi menunjukkan sebuah proses internalisasi yang tulus.
Dosen atau instruktur berharap melihat alur pemikiran yang logis, otentik, dan personal.
Mereka ingin melihat bahwa mahasiswa benar-benar memahami keterkaitan antara kolaborasi dengan rekan sejawat, kesehatan emosional guru, perancangan pembelajaran yang berpihak pada murid, dan dampaknya terhadap iklim kelas serta prestasi siswa.
Harapannya adalah tugas ini menjadi pemicu bagi mahasiswa untuk berkomitmen menjadi pembelajar sepanjang hayat, yang terus-menerus merefleksikan dan memperbaiki praktiknya demi perkembangan holistik setiap murid yang akan mereka ajar kelak.
Berikut referensi jawabannya.
Refleksi Kolaborasi Guru dalam Mengintegrasikan Materi Sosial-Emosional (Pengelolaan Emosi) sebagai Dasar Perencanaan dan Pengembangan Modul Ajar
Proses kolaborasi bersama rekan-rekan pendidik telah membuka sebuah cakrawala baru dalam cara saya memandang penyusunan rencana pembelajaran.
Sebelumnya, fokus utama saya seringkali tertuju pada pencapaian target akademis dan penguasaan materi pelajaran secara kognitif.
Namun, melalui diskusi dan berbagi pengalaman, sebuah kesadaran mendalam muncul bahwa keberhasilan akademis siswa tidak dapat dipisahkan dari kondisi emosional mereka.
Pemikiran bahwa seorang anak dapat menyerap materi pelajaran secara optimal ketika ia merasa cemas, marah, atau tertekan terasa kurang realistis.
Kesadaran inilah yang menjadi titik awal pergeseran paradigma saya dalam merancang pengalaman belajar di kelas.
Memasukkan aspek pengelolaan emosi sebagai dasar penyusunan modul ajar merupakan sebuah langkah transformatif.
Pengelolaan emosi tidak lagi saya pandang sebagai sekadar nasihat "sabar" atau "jangan marah" yang bersifat sambil lalu.
Sebaliknya, hal tersebut diterjemahkan menjadi kegiatan-kegiatan konkret yang terstruktur di dalam RPP.
Contohnya, saya mulai merancang aktivitas pembuka pelajaran dengan teknik sadar diri sederhana, seperti latihan pernapasan singkat selama satu atau dua menit.
Tujuannya adalah untuk membantu siswa menenangkan pikiran, melepaskan ketegangan yang mungkin mereka bawa dari luar kelas, dan mempersiapkan diri untuk fokus belajar.
Kegiatan semacam ini menjadi fondasi bagi terciptanya lingkungan belajar yang aman dan kondusif.
Secara praktis, penyusunan RPP kini memiliki dimensi yang lebih kaya.
Untuk setiap topik pelajaran, saya mulai memikirkan potensi pemicu emosi bagi siswa.
Saat mengajarkan konsep matematika yang sulit, misalnya, saya akan menyisipkan jeda emosional (brain break) di tengah-tengah pelajaran.
Jeda ini bisa diisi dengan aktivitas peregangan ringan atau permainan tebak kata singkat yang tidak berhubungan dengan materi, bertujuan untuk meredakan frustrasi dan mengembalikan semangat.
Dalam pelajaran Bahasa Indonesia saat membahas karakter dalam sebuah cerita, pertanyaan tidak hanya berhenti pada "apa yang dilakukan tokoh?", tetapi berkembang menjadi "apa yang mungkin dirasakan tokoh?" dan "jika kamu berada di posisi tokoh tersebut, bagaimana kamu akan mengelola perasaanmu?".
Dampak dari pendekatan ini mulai terasa secara bertahap di dalam dinamika kelas.
Siswa menjadi lebih mampu mengenali dan menamai emosi yang mereka rasakan.
Ketika menghadapi kesulitan, beberapa siswa mulai bisa mengatakan, "Saya merasa bingung dan sedikit frustrasi," alih-alih langsung menyerah atau mengganggu teman lainnya.
Adanya ruang untuk mengakui dan mengelola emosi ini secara tidak langsung mengurangi frekuensi konflik di dalam kelas.
Suasana belajar menjadi lebih positif karena setiap individu, termasuk saya sebagai pengajar, merasa lebih dipahami dan dihargai secara utuh, tidak hanya dari sisi kemampuan akademisnya saja.
Proses ini juga membawa refleksi mendalam bagi diri saya sebagai seorang pendidik. Merancang pembelajaran yang sensitif terhadap emosi siswa menuntut saya untuk lebih peka dan sadar terhadap emosi saya sendiri.
Saya belajar untuk merespons perilaku siswa dengan lebih tenang dan empatik, mencari tahu akar permasalahan emosional di baliknya, bukan sekadar memberikan reaksi atas perilaku yang tampak di permukaan.
Pendekatan ini mengubah peran saya dari sekadar penyampai informasi menjadi seorang fasilitator pembelajaran yang peduli terhadap perkembangan siswa secara holistik, mencakup aspek intelektual, sosial, dan emosional mereka.
Ke depannya, saya berkomitmen untuk terus memperdalam dan memperkaya integrasi pembelajaran sosial emosional dalam setiap modul ajar yang saya susun.
Tantangannya tentu ada, seperti keterbatasan waktu atau kebutuhan untuk terus belajar mengenai strategi PSE yang efektif.
Meskipun demikian, melihat siswa tumbuh menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara akademis tetapi juga tangguh secara emosional, mampu berempati, dan cakap dalam menjalin relasi positif, merupakan tujuan akhir pendidikan yang paling berharga.
Upaya ini adalah investasi jangka panjang untuk mempersiapkan generasi yang siap menghadapi kompleksitas kehidupan dengan bekal keterampilan sosial dan emosional yang kuat.
Komentar
Posting Komentar