Pentingnya Guru Menguasai Pembelajaran Sosial Emosional di Lingkungan Sekolah

Dalam lingkungan sekolah, perlukah guru menguasai pembelajaran sosial emosional?

Pertanyaan diatas adalah soal Cerita Refleksi Modul 2 Topik 2, PPG.

Dasar pemberian pertanyaan reflektif ini berakar pada pergeseran paradigma pendidikan kontemporer.

Pendidikan tidak lagi dipandang sebatas transfer ilmu pengetahuan (kognitif), melainkan sebagai sebuah proses utuh untuk mengembangkan manusia seutuhnya.

Hal ini sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional seperti Kurikulum Merdeka yang menekankan pada pengembangan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila.

Kompetensi seperti beriman dan bertakwa, gotong royong, mandiri, dan bernalar kritis sangat erat kaitannya dengan kecerdasan sosial dan emosional.

Dengan demikian, pertanyaan ini didasarkan pada pemahaman bahwa kompetensi sosial emosional (PSE) bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan fondasi yang esensial bagi keberhasilan proses belajar mengajar dan pembentukan karakter peserta didik.

Tujuan dari soal ini adalah untuk mendorong proses internalisasi pada diri mahasiswa PPG.

Pertanyaan ini bukanlah sebuah tes yang menuntut jawaban benar atau salah berdasarkan hafalan teori, melainkan sebuah pemicu untuk refleksi mendalam.

Mahasiswa diajak untuk tidak hanya mengetahui apa itu pembelajaran sosial emosional, tetapi untuk meyakini dan memahami urgensinya dalam profesi yang akan mereka jalani.

Proses menuliskan refleksi memaksa mereka untuk mengartikulasikan pemikiran, menghubungkan teori yang dipelajari di modul dengan keyakinan pribadi, serta melakukan evaluasi diri awal mengenai kesiapan mereka dalam mengimplementasikan PSE di kelas nantinya.

Tujuan lainnya adalah untuk membangun jembatan antara teori dan praktik.

Mahasiswa PPG dipersiapkan untuk menjadi guru profesional yang siap terjun ke lapangan.

Pertanyaan reflektif ini berfungsi sebagai simulasi mental yang mendorong mereka untuk membayangkan konteks nyata di lingkungan sekolah.

Mereka harus berpikir kritis tentang bagaimana konsep PSE akan diaplikasikan dalam menghadapi beragam karakter murid, mengelola dinamika kelas, dan membangun hubungan yang positif.

Dengan begitu, pembelajaran menjadi lebih relevan, konkret, dan tidak hanya berhenti sebagai konsep abstrak di dalam modul perkuliahan.

Harapan yang tersimpan di balik pertanyaan ini adalah terbentuknya calon-calon guru yang proaktif, empatik, dan reflektif.

Penyelenggara program PPG berharap dapat melahirkan pendidik yang tidak hanya fokus pada pencapaian target akademis, tetapi juga peka terhadap kebutuhan emosional setiap murid.

Diharapkan para calon guru ini akan terbiasa melihat perilaku murid sebagai sebuah sinyal, mampu membangun relasi yang kuat berbasis kepercayaan, dan secara sadar menciptakan iklim kelas yang aman dan inklusif.

Guru dengan profil seperti inilah yang mampu mengoptimalkan potensi setiap anak didiknya secara menyeluruh.

Harapan jangka panjangnya adalah terjadinya transformasi budaya di lingkungan sekolah.

Dengan membekali setiap calon guru dengan pemahaman yang kuat tentang pentingnya PSE, diharapkan mereka akan menjadi agen perubahan di sekolah masing-masing.

Mereka diharapkan mampu memelopori praktik-praktik baik, berkolaborasi dengan rekan sejawat untuk menciptakan ekosistem sekolah yang mendukung kesejahteraan sosial dan emosional, serta berkontribusi secara signifikan dalam melahirkan generasi masa depan Indonesia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh, berakhlak mulia, dan cakap secara sosial.

Berikut referensi jawabannya.

Ya, sangat perlu. Dalam lingkungan sekolah, seorang guru wajib menguasai Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) sebagai fondasi utama untuk mendidik generasi berkarakter dan cerdas.

Peran guru telah berkembang jauh melampaui sekadar penyampai materi pelajaran.

Guru adalah arsitek lingkungan belajar dan pendidik karakter yang memiliki tugas fundamental untuk membentuk manusia seutuhnya.

Oleh karena itu, penguasaan PSE menjadi sebuah kewajiban profesional yang mendasar, menjadi inti dari efektivitas seorang pendidik di era modern.

Alasan utamanya adalah karena guru yang menguasai PSE mampu menciptakan lingkungan belajar yang positif dan aman secara psikologis.

Ruang kelas yang dikelolanya menjadi sebuah ekosistem di mana setiap murid merasa diterima, dihargai, dan tidak takut untuk berproses.

Atmosfer seperti ini merupakan prasyarat agar murid dapat fokus, berani berekspresi, dan menyerap pembelajaran akademis secara optimal.

Tanpa rasa aman emosional, potensi kognitif murid akan sulit berkembang sepenuhnya.

Pemahaman terhadap PSE membekali guru dengan kemampuan untuk menginterpretasi perilaku murid secara lebih bijaksana.

Setiap tindakan murid, terutama yang dianggap menantang, dipandang sebagai bentuk komunikasi atas kebutuhan emosional yang belum terpenuhi, bukan sebagai label "nakal".

Guru yang cakap secara emosional dapat mengidentifikasi akar masalah, misalnya kecemasan atau masalah keluarga, lalu merespons dengan pendekatan yang solutif dan empatik, bukan sekadar hukuman yang reaktif.

Guru juga merupakan model atau teladan utama bagi murid di sekolah.

Murid belajar tentang cara mengelola emosi, menyelesaikan masalah, dan berempati dengan melihat langsung bagaimana gurunya bersikap setiap hari.

Ketika seorang guru menunjukkan ketenangan saat menghadapi tekanan atau berkomunikasi dengan penuh hormat, ia sedang memberikan pelajaran sosial emosional yang jauh lebih berdampak daripada teori di buku teks.

Keteladanan ini adalah metode pengajaran PSE yang paling otentik.

Dampak positif penguasaan PSE juga dirasakan langsung oleh guru itu sendiri.

Profesi ini sarat dengan tekanan dan tantangan emosional.

Dengan bekal kesadaran diri dan manajemen diri yang baik, guru dapat mengenali pemicu stres, mengelola energinya, dan menjaga kesejahteraan mentalnya.

Guru yang sejahtera secara emosional dapat mencegah kelelahan profesional (burnout), sehingga mampu mendedikasikan dirinya secara berkelanjutan dengan semangat dan kualitas terbaik.

Kemampuan membangun relasi yang kuat dan positif adalah jantung dari pendidikan yang bermakna.

Guru yang menguasai keterampilan sosial emosional dapat mendengarkan secara aktif dan berkomunikasi dengan empati, sehingga mampu membangun fondasi kepercayaan dengan setiap murid.

Hubungan positif inilah yang membuat murid merasa terhubung dengan sekolah dan termotivasi untuk belajar, menjadi faktor penentu keberhasilan akademis dan perkembangan karakternya.

Maka, dapat disimpulkan bahwa penguasaan pembelajaran sosial emosional oleh guru bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan mutlak.

Kemampuan tersebut menjadi pilar utama dalam upaya menciptakan generasi masa depan yang unggul secara intelektual, sekaligus matang secara emosional dan berkarakter mulia untuk menghadapi kompleksitas kehidupan.

Komentar