Makalah Produk Perundang-Undangan PPKn Kelas 10 SMA/SMK
Berikut adalah makalah tentang “Produk Perundang-Undangan” mata pelajaran PPKn Kelas 10 SMA/SMK.
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 memiliki peranan penting dalam membentuk dasar hukum dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pancasila menjadi panduan filosofis dan ideologis, sementara UUD NRI Tahun 1945 menterjemahkan prinsip-prinsip ini menjadi norma-norma hukum yang mendasar. Keduanya menjadi panduan utama dalam menjalankan pemerintahan dan mencapai tujuan negara.
Semua peraturan perundang-undangan di Indonesia diwajibkan untuk merujuk pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Ini bukanlah hal yang bisa diabaikan, apalagi bertentangan. Sebagai contoh, prinsip "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila, serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, memberikan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang ada tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip ini. Mulai dari Undang-Undang hingga peraturan daerah, tidak boleh mengandung norma hukum yang melanggar kebebasan beragama.
Selain itu, peraturan perundang-undangan yang ada juga harus merujuk pada pasal atau ayat yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945. Prinsip ini diterapkan secara hierarkis dalam susunan perundang-undangan. Misalnya, sebuah Peraturan Daerah harus tidak hanya merujuk pada UUD NRI Tahun 1945, tetapi juga harus mencerminkan prinsip-prinsip yang diatur oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah di tingkat yang lebih tinggi.
Namun, tidak hanya sebatas mengacu pada peraturan di atasnya, isi dari peraturan perundang-undangan juga memiliki peran penting. Isi tersebut harus selaras dengan peraturan yang lebih tinggi dan norma-norma hukum yang ada harus dapat diimplementasikan dengan baik. Bahasa yang digunakan dalam peraturan harus jelas dan tidak menimbulkan keraguan dalam interpretasi. Isi peraturan perundang-undangan juga harus mendukung tujuan pemerintahan yang melayani masyarakat, mencerminkan keadilan sosial, serta tidak memberi peluang bagi tindakan korupsi.
Jika tiga prinsip ini tidak terpenuhi, maka suatu peraturan perundang-undangan dapat digugat. Ketika peraturan tersebut berupa undang-undang, gugatan bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan untuk peraturan yang lebih rendah, gugatan bisa dilayangkan ke Mahkamah Agung. Ketiga prinsip ini merupakan alat yang sederhana namun efektif dalam menganalisis kualitas suatu produk perundang-undangan.
Dalam konteks ini, kami akan menganalisis Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai contoh. Undang-Undang ini mengalami perubahan signifikan dalam pengaturan tentang desa, mengarah pada pemberian kembali otonomi kepada desa dan mengakui hak-hak asal-usul serta nilai-nilai budaya yang mendasarinya. Analisis terhadap perubahan ini memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai reformasi kebijakan desa dan dampaknya terhadap struktur pemerintahan dan masyarakat desa.
Dalam analisis produk perundang-undangan, langkah-langkah di atas menjadi pedoman untuk memastikan kualitas, kesesuaian, dan efektivitas hukum yang diterapkan dalam suatu aturan. Dengan demikian, kita dapat memahami betapa pentingnya Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan prinsip-prinsip hukum dalam membentuk dasar hukum yang kokoh dan mendorong terciptanya tata kelola yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Rumusan Masalah
Dalam bagian ini, kita akan mengidentifikasi beberapa pertanyaan yang menjadi fokus utama analisis perundang-undangan. Pertanyaan-pertanyaan ini akan membantu kita memahami dan mengevaluasi produk perundang-undangan dengan lebih mendalam. Berikut adalah rumusan masalah yang akan dibahas:
- Bagaimana Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 mempengaruhi pembuatan dan interpretasi peraturan perundang-undangan di Indonesia?
- Mengapa penting bagi peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk merujuk kepada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945? Apa dampak jika tidak diikuti?
- Bagaimana hierarki perundang-undangan di Indonesia, dan mengapa penting bagi suatu peraturan perundang-undangan untuk merujuk kepada norma yang lebih tinggi?
- Apa saja kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah peraturan perundang-undangan agar dianggap baik dan efektif? Bagaimana pengaruh kriteria-kriteria ini terhadap pelaksanaan hukum?
C. Tujuan
Pada bagian ini, kami akan mengungkapkan tujuan dari analisis produk perundang-undangan. Hal ini akan membantu kami memahami mengapa analisis ini penting dilakukan dan apa yang ingin dicapai melalui analisis tersebut. Berikut adalah tujuan dari analisis produk perundang-undangan:
- Memahami peran dan pengaruh Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 dalam membentuk dasar hukum dan norma-norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
- Menjelaskan mengapa keterkaitan dan konsistensi dengan norma-norma yang lebih tinggi, seperti Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, sangat penting dalam peraturan perundang-undangan.
- Menggambarkan hierarki perundang-undangan di Indonesia dan mengapa merujuk kepada pasal atau ayat dalam norma yang lebih tinggi adalah hal yang krusial.
- Menganalisis kriteria penting dalam sebuah peraturan perundang-undangan, termasuk kejelasan, keterlaksanaan, dan kesesuaian dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
- Menjelaskan bagaimana pelanggaran terhadap kriteria-kriteria tersebut dapat membuka peluang untuk menggugat suatu peraturan perundang-undangan.
- Mengilustrasikan contoh analisis pada kasus konkret, seperti UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, untuk memahami perubahan signifikan dalam kebijakan desa dan dampaknya terhadap pelaksanaan hukum di masyarakat.
Bab II
Pembahasan
A. Pengaruh Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 terhadap Pembuatan dan Interpretasi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Pancasila sebagai Falsafah dan Ideologi. UUD NRI Tahun 1945 menerjemahkan ke dalam norma-norma hukum yang mendasar. Keduanya menjadi pegangan dalam hidup bernegara: tujuan bernegara dan bagaimana menyelenggarakan pemerintahan agar memenuhi tujuan bernegara.
Seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus merujuk kepada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Tidak boleh mengabaikan apalagi bertentangan. Seperti halnya sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila, dan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, keduanya memberikan perlindungan kepada agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka, peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan terhadap keduanya. Undang-Undang sampai Peraturan Daerah; tidak boleh menuliskan norma hukum yang melarang kebebasan beragama.
Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada di bawah UUD NRI Tahun 1945 juga harus merujuk pasal atau ayat yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945. Hal demikian berlaku secara hierarkis dalam urutan perundang-undangan. Sehingga sebuah Peraturan Daerah, misalnya, bukan hanya harus merujuk kepada UUD NRI Tahun 1945 tetapi harus pula merujuk kepada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang ada di atasnya, yang sejalan perihal yang diatur.
B. Peraturan Perundang-Undangan Merujuk Kepada Norma yang Lebih Tinggi
Dalam melihat peraturan perundang-undangan, selain keharusan terkait dan merujuk kepada peraturan perundang-undangan di atasnya, hal ketiga, yang penting juga adalah isi peraturan perundang-undangan itu sendiri. Selain isinya harus searah dan mendukung terhadap peraturan perundang-undangan yang di atasnya, norma hukum yang ada harus dapat dilaksanakan. Istilah yang digunakan harus jelas dan tidak menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam. Isi peraturan perundang-undangan juga harus selaras dengan upaya mendorong pemerintahan yang melayani kepentingan rakyat, memperhatikan rasa keadilan masyarakat, dan tidak berpeluang digunakan untuk korupsi.
Apabila ketiga hal di atas tidak terpenuhi, maka sebuah peraturan perundang-undangan dapat digugat. Jika peraturan berbentuk undang-undang, maka dapat digugat (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan selain undang-undang, dapat dilayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Ketiga hal di atas, sekaligus merupakan alat sederhana untuk menganalisis sebuah produk perundang-undangan.
C. Contoh Analisis Terhadap Undang-Undang
Berikut adalah contoh analisis terhadap undang-undang. Dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Analisis Undang-Undang Desa
Reformasi kebijakan tentang desa akan terlihat dengan jelas apabila kita sudah memahami konten dari UU Nomor 6 tahun 2014 tersebut, dan akan tampak lebih jelas apabila kita bandingkan dengan peraturan tentang desa sebelumnya. Aspek perubahan fundamental dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tersebut akan jelas jika dibandingkan dengan kebijakan tentang desa yang termuat dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Pada periode sebelum reformasi, perbedaan mencolok mengenai kebijakan tentang desa tampak pada UU Nomor 5 tahun 1979, yaitu ada upaya orde baru untuk menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa. Undang-Undang ini mengatur desa dari segi pemerintahannya yang berbeda dengan pemerintahan desa/marga pada awal masa kolonial yang mengatur pemerintahan menurut adat-istiadat yang sudah ada.
Dalam UU Nomor 5 tahun 1979, pengakuan terhadap hak ulayat dan hak rekognisi (pengakuan) terkurangi. Akibatnya, hilangnya nilai-nilai keberagaman tentang desa di nusantara berdasarkan asal-usulnya. Tereduksinya otonomi desa terjadi sejak diimplementasikannya UU Nomor 5 tahun 1979. Kebijakan penyeragaman (uniformitas) baik mengenai nama, bentuk, susunan, dan kedudukan Pemerintahan Desa, mengakibatkan hancurnya sistem sosial masyarakat desa yang menjadi penunjang bagi upaya penyelesaian masalah sosial di desa.
Kebijakan yang bersifat asimetris rezim Orde Baru telah merombak secara drastis desa dan semua perangkatnya menjadi mesin birokrasi yang efektif dalam menjalankan semua kebijakan secara top down. Desa mengalami pergeseran peran dan kedudukan, dari entitas sosial yang bertumpu pada nilai-nilai budaya dan tradisi sesuai dengan hak asal-usulnya berubah menjadi unit pemerintahan yang merupakan perpanjangan tangan bagi kepentingan rezim yang berkuasa. UU Nomor 6 tahun 2014 lebih mengedepankan peran desa secara otonom dengan keunikan hak-hak asal-usulnya (rekognisi).
Sedangkan dalam UU Nomor 32 tahun 2004 menunjukkan bahwa nuansa peran pemerintah masih dominan, meskipun telah diimplementasikan konsep desentralisasi sesuai nafas otonomi daerah. Dalam UU Nomor 32 tahun 2004, desa hanya berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota, dengan otonomi yang lebih luas. Sehingga desa hanya sebagai lokasi di mana program-program pemerintah diimplementasikan, sementara peran masyarakat desa sendiri kurang diperhatikan.
Namun dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tersebut, peran desa sebagai wilayah otonom dijamin, sehingga desa dapat menjalankan perannya sesuai dengan asal-usul desa (rekognisi) dan adat istiadat yang sudah berjalan dari nenek moyang, penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa (subsidiaritas), keberagaman, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan. Dalam implementasi UU Nomor 32 tahun 2004, maka ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa.
Pengaturan tentang desa pasca reformasi 1998 mengalami degradasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005. Kemudian, melalui Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, harapan besar mengenai otonomi desa tumbuh kembali, dan dibayangkan akan tumbuh seperti masa sebelum 1979. Sayangnya, otonomi desa justru tereduksi akibat dari meluasnya ekspansi otonomi daerah. Semakin luas ekspansi otonomi daerah, bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi desa. Desa menjadi powerless, kehilangan kewenangan, meskipun secara eksplisit jelas memiliki otonomi asli. Otonomi asli desa yang termuat dalam UU Nomor 22 tahun 1999, dengan meluasnya otonomi daerah seketika itu pula berubah menjadi kabur.
Dalam perkembangannya, PP Nomor 72 tahun 2005 tersebut naik kelas menjadi UU Nomor 6 tahun 2014. Dengan berlakunya UU Nomor 6 tahun 2014, desa memperoleh eksistensinya kembali dan memiliki kedudukan yang signifikan dalam entitas pemerintahan daerah. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014, desa seakan bangun kembali setelah mengalami tidur panjang (1979-1999) dan setelah mengalami pelucutan sebagian besar otonomi aslinya pasca reformasi (1999-2013). Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa setidaknya akan menjawab permasalahan-permasalahan di atas.
Substansi yang terkandung dalam batang tubuh UU Nomor 6 tahun 2014 memuat tentang pengaturan desa yang didasarkan pada pengakuan terhadap hak asal-usul (rekognisi), penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa (subsidiaritas), keberagaman, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan. Dengan substansi yang terkandung dalam batang tubuh UU Nomor 6 tahun 2014 tersebut, maka ditegaskan kembali otonomi asli desa yang sejak awal telah dikoreksi oleh UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 32/2004. Dengan kembalinya otonomi asli desa tersebut diharapkan dapat tercapai salah satu tujuan kemandirian desa, yaitu terciptanya Self-Governing Community (Kemandirian Masyarakat Desa). Berdasarkan hak asal-usul yang diakui dan dihormati oleh negara berdasarkan amanah konstitusi Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, desa dan atau nama lain berhak mengatur dan mengurus urusannya masing-masing. Bahkan lebih dari itu, sangat dimungkinkan untuk tumbuhnya desa adat di luar desa administratif.
Selanjutnya, pemerintah desa diharapkan mampu mengembangkan otonomi aslinya untuk membatasi pengaruh kekuasaan otonomi daerah yang mengancam seluruh sendi kehidupan pemerintah dan masyarakat desa. Dengan diakuinya otonomi asli desa, diharapkan pemerintah desa juga bisa lebih otonom dan mandiri tidak menjadi alat birokrasi rezim pemerintah yang berkuasa saja. Local Self-Government (Kemandirian Pemerintah Desa) yang menjadi salah satu pilar kemandirian desa yang hendak dicapai melalui UU Nomor 6 tahun 2014 diharapkan dapat terwujud. Peluang itu akan semakin besar dengan diberlakukannya UU Nomor 6 tahun 2014 yang secara substansial mengandung aspek reformasi mengenai pengurusan tentang desa.
Ada banyak lagi hasil analisis yang bisa kita temukan melalui dunia digital. Analisis dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari dosen maupun mahasiswa, ada juga yang berasal dari lembaga pemerintah. Seperti yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Salah satu yang dihasilkan dalam analisis BPHN adalah "Analisis dan Evaluasi Hukum Mengenai Sistem Pendidikan Nasional". Analisis ini tertuju kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Analisis dilakukan mencakup setidaknya empat hal:
a. Analisis dan evaluasi berdasarkan ketepatan jenis perundang-undangan;
b. Analisis dan evaluasi berdasarkan kejelasan rumusan ketentuan;
c. Analisis dan evaluasi berdasarkan potensi disharmoni dengan peraturan perundang-undangan yang lain;
d. Analisis dan evaluasi berdasarkan efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan.
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari analisis dalam bab II makalah ini, dapat diambil kesimpulan terkait produk perundang-undangan di Indonesia, yaitu:
1. Pentingnya Merujuk Pancasila dan UUD 1945
Pancasila dan UUD 1945 memiliki peran sentral dalam membentuk dasar norma-norma hukum dan kebijakan di Indonesia. Produk perundang-undangan harus selalu merujuk kepada kedua prinsip ini, tanpa melanggar atau mengabaikannya.
2. Hierarki Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan harus mengikuti hierarki yang jelas, dimulai dari UUD 1945 hingga peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Hal ini penting untuk memastikan keselarasan dan konsistensi dalam sistem hukum.
3. Kriteria Isi Peraturan
Selain mengikuti hierarki, peraturan perundang-undangan harus memiliki isi yang jelas, sesuai dengan prinsip-prinsip di atasnya, dan dapat dilaksanakan. Penggunaan istilah yang jelas dan pemahaman yang seragam sangat penting untuk menghindari penafsiran yang ambigu.
4. Perlindungan Kebebasan Beragama
Setiap peraturan perundang-undangan, termasuk yang berada di tingkat daerah, harus menghormati dan melindungi hak kebebasan beragama dan keyakinan. Norma-norma seperti sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" dan Pasal 29 UUD 1945 harus dijunjung tinggi.
5. Analisis Produk Perundang-Undangan
Ketika menganalisis suatu produk perundang-undangan, kita harus mempertimbangkan aspek-aspek seperti keterkaitan dengan prinsip-prinsip di atasnya, hierarki hukum, serta kemampuan untuk diimplementasikan secara efektif. Jika ada ketidaksesuaian atau pelanggaran, ada mekanisme hukum untuk menggugatnya.
B. Saran
Berdasarkan analisis dalam bab II makalah ini, terdapat beberapa saran yang dapat diambil untuk perbaikan dan pengembangan produk perundang-undangan di Indonesia, yakni:
1. Penguatan Pendidikan Hukum
Pendidikan hukum yang mendalam tentang Pancasila, UUD 1945, dan hierarki perundang-undangan perlu ditingkatkan, baik bagi masyarakat umum, para legislator, maupun pihak yang terlibat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.
2. Keterlibatan Masyarakat
Dalam proses perumusan peraturan perundang-undangan, penting untuk melibatkan masyarakat secara lebih aktif. Hal ini dapat memastikan bahwa peraturan yang dibuat lebih sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat.
3. Klarifikasi Istilah dan Penafsiran
Dalam penyusunan peraturan, perlu diberikan perhatian khusus untuk menghindari penggunaan istilah yang ambigu atau dapat menimbulkan penafsiran beragam. Penggunaan definisi yang jelas dan rumusan ketentuan yang tegas harus diutamakan.
4. Penguatan Otoritas Desa
Pengembangan peraturan perundang-undangan yang mendukung otonomi desa dan pemberdayaan masyarakat lokal harus terus dilakukan. Hal ini dapat mendorong pemerintahan yang lebih berkeadilan dan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat desa.
5. Pemantauan dan Evaluasi Kontinu
Perlunya mekanisme pemantauan dan evaluasi berkala terhadap implementasi peraturan perundang-undangan. Ini akan membantu mengidentifikasi permasalahan dan kesenjangan yang perlu diperbaiki seiring berjalannya waktu.
Dengan mengikuti saran-saran di atas, diharapkan produk perundang-undangan di Indonesia dapat lebih konsisten, efektif, dan dapat mendorong terciptanya pemerintahan yang melayani kepentingan rakyat serta mengutamakan keadilan dan integritas.