Makalah Interaksi Budaya Nusantara di Kancah Dunia PPKn Kelas 11 SMA/SMK


Berikut adalah makalah tentang “Interaksi Budaya Nusantara di Kancah Dunia” mata pelajaran PPKn Kelas 11 SMA/SMK.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Makalah ini membahas tentang bagaimana masyarakat di dua lokasi berbeda di Indonesia, yaitu Kampung Naga di Jawa Barat dan Kabupaten Fakfak di Papua Barat, menjaga dan merawat tradisi lokal serta kebinekaan dalam kehidupan mereka.

Di Kampung Naga, yang terletak di Jawa Barat, masyarakatnya terutama petani dan perajin anyaman bambu. Mereka sangat menghargai tradisi dan lingkungan, menjaga alam seperti manusia dan mengadakan upacara serta mengikuti tabu-tradisi tertentu. Salah satu ciri khas masyarakat ini adalah konsistensinya dalam menjaga lingkungan dan hutan, yang ditunjukkan melalui hutan larangan dan hutan tutupan. Mereka juga membuat struktur tanah bernama séngkédan untuk menghindari longsor dan erosi.

Di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, terdapat etnis Mbaham Matta yang menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama. Filosofi "Satu Tungku Tiga Batu" menggambarkan hubungan toleransi dan persaudaraan antara beragam agama, suku, dan status sosial dalam satu wadah. Filosofi ini telah menginspirasi kerukunan dan harmoni di antara masyarakat yang berbeda agama di wilayah tersebut.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Di Kampung Naga, bagaimana masyarakatnya menjaga tradisi adat dan alam sekitar?
  2. Di Kabupaten Fakfak, apa yang membuat filosofi "Satu Tungku Tiga Batu" menjadi penting dalam mewujudkan toleransi antarumat beragama?

C. Tujuan

Makalah ini ditulis dengan tujuan menggali dan memahami bagaimana masyarakat di dua tempat tersebut merawat dan menjaga tradisi lokal mereka serta bagaimana mereka mengembangkan rasa toleransi dalam beragama. Dengan mengamati contoh-contoh ini, kita dapat belajar bagaimana keberagaman budaya dan keyakinan dapat berkontribusi pada keharmonisan dan keberlanjutan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Masyarakat Kampung Naga Menjaga Kelestarian Alam

Kampung Naga berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebagian besar masyarakatnya hidup sebagai petani. Diluar itu, masyarakat Kampung Naga bermatapencaharian sebagai perajin anyaman bambu, pun yang kerajinan rumah tangga atau industri kecil lainnya.

Publik mengenal kampung masyarakat Sunda ini sebagai kampung adat. Penduduk Kampung Naga baik yang masih tinggal di sana atau di luar, menganggap tempat kelahirannya tersebut sebagai warisan leluhur untuk anak cucunya sehingga harus dijaga.

Cara untuk menunjukkan hal tersebut ada dalam prilaku maupun upacara ritual yang diselenggarakan secara rutin. Mereka juga memberlakukan semacam tabu yang harus dihindari.

Salah satu ciri yang melekat pada masyarakat adat Kampung Naga adalah konsistensinya untuk menjaga lingkungan agar tetap lestari. Mereka melihat alam sebagaimana manusia, yang harus diperlakukan dengan baik. Tidak dieksploitasi, ditebangi pohonnya semena-mena tanpa ditanami kembali.

Aktivitas untuk melindungi hutan mereka tunjukkan dengan menetapkan sebuah kawasan yang suci. Pada Kawasan tersebut ada yang disebut leuweung larangan (hutan larangan) dan leuweung tutupan (hutan tutupan). Disebut sebagai hutan larangan, karena disana ada pantangan. Di tempat itu pulalah, leluhur Kampung Naga dimakamkan.

Selain leuweung larangan, ada juga leuweung tutupan, tempat dimana tumbuh tanaman keras yang usianya sudah mencapai puluhan atau bahkan mungkin ratusan tahun. Hutan tutupan merupakan sumber kehidupan masyarakat adat Kampung Naga.

Harmonisasi dengan lingkungan juga dilakukan dengan cara membuat séngkédan. Melihat topografi wilayahnya yang berbukit-bukit, cara itu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya longsor atau erosi. Tanah séngkédan tersebut kemudian diperkuat dengan susunan batu kali sehingga terlihat seperti teras.

Karena tidak menggunakan campuran pasir dan semen untuk penguat, air dari daerah yang lebih tinggi masih bisa mengalir ke daerah lebih rendah melalui batu-batu tersebut.

B. Satu Tungku Tiga Batu, Cermin Toleransi Umat di Fakfak

Fakfak adalah nama salah satu Kabupaten di Provinsi Papua Barat. Nama ini diyakini berasal dari kata “PakPak” yang memiliki arti batu kotak-kotak yang bertumpuk. Bebatuan seperti ini dapat dilihat di lokasi pelabuhan Fakfak tempat kapal bersandar.

Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini menjadi identitas warga asli yang telah mendiami kawasan ini sejak zaman dulu. Hal itu ditandai dengan nama marga yang menjadi identitas warga.

Etnis Mbaham Matta (WUH) adalah masyarakat Adat tertua yang ada di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Masyarakat Kabupaten Fakfak ini terkenal dengan filosofi Satu Tungku Tiga Batu. Mereka memahami filosofi tersebut sebagai cerminan toleransi antar umat beragama.

Ditemui di kantornya, Jumat (17/9/2021), Humas Kemenag Kab Fakfak, Alex Iba, bercerita bahwa berdasarkan sejumlah sumber yang dia baca, sejak zaman dahulu, warga suku Mbaham Matta (WUH) yang mendiami Fakfak memasak di atas tungku yang terbuat dari tiga batu besar. Ketiga batu ini memiliki ukuran yang sama, kokoh dan kuat serta tahan panas. Ketiganya disusun membentuk lingkaran sehingga bisa menopang kuali atau belanga yang akan digunakan untuk memasak.

“Bagi masyarakat Kota Pala ini, tungku merupakan simbol dari kehidupan. Sedangkan tiga batu adalah Simbol dari Kau, Saya dan Dia yang menghubungkan perbedaan baik Agama, Suku, dan Status Sosial dalam satu wadah persaudaraan,” ujat Alex Iba.

“Dasar itulah yang kemudian dijadikan sebagai simbol kerukunan di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat,” sambungnya.

Filosofi Satu Tungku Tiga Batu ini, kata Alex, juga merupakan pengejawatan dari filsafat hidup Etnis Mbaham Matta yang disebut “KO, ON, KNO, Mi Mbi Du Qpona”. Artinya, Kau, Saya, dan Dia Bersaudara. Filosofi ini mengarah pada Adat, Agama, dan Pemerintahan.

Filosofi Satu Tungku Tiga Batu menjadi pegangan hidup masyarakat Kabupaten Fakfak. Dulu, filosofi ini diwariskan secara turun temurun di dalam keluarga. Pada tahun 1990-an, dilakukan upaya perumus hingga secara resmi ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai filosofi Kabupaten Fakfak.

Alex menjelaskan, sejak lama, Kabupaten Fakfak dikenal sebagai penghasilan rempah – rempah, salah satunya adalah buah Pala. Hal ini membuat banyak pedagang singgah di Kabupaten Fakfak untuk berniaga, termasuk para pedagang muslim dari Tidore dan Ternate.

Dalam perkembangannya, penduduk Kabupaten Fakfak semakin beragam. Ada di antara mereka yang beragama Islam, Katolik, dan Kristen Protestan. Mereka hidup secara toleran dan harmonis. Kondisi ini bisa dilihat misalnya dalam acara keagamaan. Saat perayaan Idul Fitri dan Natal, semua umat dilibatkan. “Bahkan, bila ada acara pembangunan masjid atau gereja, semua umat juga ikut terlibat, berpartisipasi dan bergotong royong,” tutur Alex Iba.

Kini, Fakfak menjadi salah satu kabupaten tertua di Provinsi Papua Barat, bahkan di tanah Papua. Filosofi Satu Tungku Tiga Batu telah mengajarkan mereka bahwa perbedaan justru menjadi sarana untuk menyatukan. Warga Fakfak tidak pernah bahkan tidak ada waktu untuk membeda-bedakan agama satu dengan agama yang lain. “Filosofi Satu Tungku Tiga Batu merupakan nafas dari kerukunan dan keakraban dalam peradaban masyarakat yang ada di Kabupaten Fakfak,” tandas Alex. (Humas dan Protokol Kankemenag Kabupaten Fakfak).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan makalah ini, kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Kampung Naga di Jawa Barat dan Kabupaten Fakfak di Papua Barat memiliki pendekatan yang unik dalam merawat tradisi lokal dan memupuk kebinekaan. Di Kampung Naga, masyarakat dengan tekun menjaga tradisi adat mereka, menghormati lingkungan, dan menjalankan upacara ritual sebagai cara untuk melestarikan warisan leluhur. Mereka juga memiliki kebijakan lingkungan, seperti hutan larangan dan tutupan, serta teknik séngkédan untuk menjaga alam dari kerusakan. Sementara itu, di Kabupaten Fakfak, filosofi "Satu Tungku Tiga Batu" menjadi simbol kuat toleransi antaragama dan persatuan, memadukan perbedaan agama dan budaya dalam kerangka harmoni.

B. Saran

Untuk lebih menguatkan usaha dalam merawat tradisi lokal dan kebinekaan, berikut beberapa saran yang dapat diambil:
  1. Pemerintah setempat dan lembaga terkait sebaiknya memberikan dukungan dan perhatian lebih kepada masyarakat Kampung Naga dan Kabupaten Fakfak dalam upaya pelestarian dan pengembangan tradisi mereka.
  2. Kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan lembaga kebudayaan bisa ditingkatkan. Penelitian lebih mendalam tentang tradisi lokal dan filosofi seperti "Satu Tungku Tiga Batu" dapat memberikan wawasan yang lebih dalam dan bermanfaat dalam konteks pelestarian dan pendidikan kebinekaan.
  3. Pemberdayaan masyarakat setempat melalui pelatihan keterampilan dan promosi produk kerajinan tradisional dapat membantu masyarakat mendapatkan penghasilan yang berkelanjutan dari usaha mereka dalam menjaga tradisi. Hal ini akan menjaga agar tradisi lokal tetap relevan dan berlanjut di tengah perkembangan zaman.
  4. Melalui kerja sama lintas generasi dan pengenalan kepada generasi muda, nilai-nilai toleransi, kebinekaan, dan pentingnya merawat tradisi dapat diwariskan dan terus hidup di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
  • Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, (Bandung: Kiblat, 2006)
  • https://www.kemenag.go.id/moderasi-beragama/satu-tungku-tiga-batu-cermin-toleransi-umat-di-fakfak-j3f350