Implikasi Penerapan Ajaran Punarbhawa Terhadap Kualitas Diri

Ajaran tentang pencapaian surga dari penghayatan teks Parāśara Dharmaśastra ini dapat diketahui dari sloka berikut ini.

“Yatha dhyayana Karmani dharmasatram idam tatha, Adhyetavyam prayatnema niyama svarga gainina.”

Terjemahannya:

“Penghayatan dharmaśastra ini, seperti pembelajaran kitab suci Veda, sama wajibnya bagi mereka yang mengharapkan tempat kediaman di surga (setelah meninggal).”
(Parāśara Dharmaśastra, XII. 75)

Dasar keyakinan masyarakat Hindu terhadap ajaran punarbhawa dan karmaphala menjadi satu teori yang tidap dapat dipisahkan dalam kelahiran manusia, karena kelahiran (punarbhawa) disebabkan oleh karmaphala atau perbuatan sebelumnya (kehidupan sebelumnya).

Dengan demikian, kesempatan terlahir menjadi manusia memiliki peluang yang sangat baik untuk memperbaiki diri seperti yang diuraikan dalam Sarasamuccaya sloka 4 berikut ini.

“Iyam hi yonih prathama yaam prapya jagatipate, atmanam sakyate tratum Karmabhih cubhalaksanaih.”

“Apan iking dadi wwang, utama juga ya, niinitaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang qubhaKarma, hinganing kotamaning dadi wwang ika.”

Terjemahannya:

“Menjelma menjadi manusia adalah hal yang sangat utama, karena ia dapat menolong dirinya dari kesengsaraan dengan jalan berbuat baik.”

Berdasarkan sloka di atas, dapat dijelaskan bahwa hanya manusialah yang dapat menyelamatkan dirinya dari kesengsaraan Ini karena hanya manusia yang diciptakan dengan memiliki pikiran yang digunakan untuk memikirkan segala perbuatan yang dilakukannya dan memilikirkan segala akibat yang dapat ditimbulkan dari perbuatan itu (hukum karma).

Kelahiran kembali dijadikan sebagai peluang untuk berbuat baik dalam memperbaiki karma buruk pada kehidupan sebelumnya. Dengan demikian, setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbaiki kualitas karma dari kehidupan yang terdahulu atau karma dalam kehidupan yang sekarang. Oleh karena itu, hendaknya seseorang selalu berbuat baik.

Dengan demikian, fluktuasi dari keberadaan makhluk di alam semesta raya ini dengan jelas menunjukan proses berlangsungnya hukum Karma yang bekerja secara otomatis dan pasti, tanpa dapat direkayasa, maupun dimanipulasi dengan cara apapun. Dengan begitu layak mendapat perhatian yang saksama dan penuh kewaspadaan. Seperti yang disampaikan oleh sang Buddha Gautama dalam 550 kali penjelmaan sebelumnya yang terangkum dalam kitab JatakaI. (Maswinara, 2002: 195)

Berdasarkan uraian diatas, implikasi penerapan ajaran punarbhawa terhadap kualitas diri adalah berperilaku kebajikan yang dilandasi oleh nilai-nilai dharma, seperti satyam (kebajikan, kebenaran, tidak diskriminasi, dan kejujuran), sivam (kesucian dana pemprelinaan dosa), dan sundaram (keharmonisan, kesejahteraan, keindahan, dan kedaimaian), tidak lagi ditambah dengan dosa-dosa yang menyebabkan kualitas dosa yang menyelimuti jiwa (atman)-nya semakin menggiring manusia dalam kegelapan (awidya).

Komentar