Dasar Teologis untuk Keberagaman

Dasar Teologis untuk Keberagaman yaitu Galatia 3:28 “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”

Berikut uraian tentang Dasar Teologis untuk Keberagaman:

Setelah dihancurkan oleh Imperium Babilonia, bangsa Yehuda dibuang ke negara itu pada masa pembuangan pada tahun 597, 587 dan 582 SM. Ketiga proses pembuangan ini sungguh menghancurkan kebanggaan bangsa Yehuda sebagai umat pilihan Allah. Mereka membayangkan mengapa Allah telah meninggalkan mereka. Mereka meratapi dosa mereka karena telah meninggalkan Allah, dan mengabaikan perintah-perintah-Nya. Dalam Mazmur 137 ayat 1-5, digambarkan bahwa mereka menangis.

“Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian dan orang orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita, “Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!” Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian Tuhan di negeri asing? Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku!”

Nabi Yeremia berusaha menghibur mereka dengan mengingatkan agar mereka bersiap-siap untuk menjadikan Babel sebagai tanah air mereka sebab mereka akan tinggal lama di sana. Dalam suratnya kepada bangsa itu di pembuangan, Yeremia berkata,

“Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya; ambillah isteri untuk memperanakkan anak laki-laki dan perempuan; ambilkanlah isteri bagi anakmu laki-laki dan carikanlah suami bagi anakmu perempuan, supaya mereka melahirkan anak laki-laki dan perempuan, agar di sana kamu bertambah banyak dan jangan berkurang! Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (Yeremia 29:5-7)

Di sini jelas bahwa Allah tidak ingin orang-orang Yehuda menjauhkan diri dari bangsa Babel. Sebaliknya, mereka diperintahkan untuk mengusahakan kesejahteraan kota itu supaya mereka bisa juga ikut menikmati kehidupan di sana.

Pada tahun 539 SM, Babilonia dikalahkan oleh Imperium Persia dan orang-orang Yehuda diizinkan kembali ke Yerusalem oleh Raja Koresy. Banyak yang memutuskan untuk tetap tinggal di Babel, tetapi cukup banyak pula yang memutuskan untuk kembali. Kepulangan mereka dipimpin oleh Nehemia dan Imam Ezra. Saat itu, Ezra mengeluarkan dekrit yang mengharuskan setiap orang Yehuda yang beristrikan orang-orang Babel untuk menceraikan mereka (Ezra pasal 9-10). Ezra menganggap perkawinan campuran orang-orang Yehuda dengan perempuan-perempuan asing itu mencemarkan “kemurnian” darah mereka.

Namun, dalam keadaan seperti itu, muncullah dua kitab Perjanjian Lama yang mengkritik pandangan Ezra tersebut. Pertama adalah Kitab Rut yang mengingatkan bangsa Yehuda bahwa Rut adalah seorang perempuan Moab dan dialah yang menjadi nenek moyang Daud, raja Israel yang sangat mereka hormati. Yang kedua adalah Kitab Yunus, yang mengingatkan bangsa Yehuda bahwa Allah sangat mengasihi bangsa-bangsa lain. Terbukti, Allah membatalkan hukuman-Nya atas bangsa Niniwe yang jahat ketika mereka memutuskan untuk bertobat. Kedua buku ini sesungguhnya membukakan mata bangsa Yehuda bahwa mereka harus mau terbuka dan menerima bangsa-bangsa lain. Bahkan, juga menikah dengan bangsa lain, seperti yang diperintahkan Nabi Yeremia.

Meskipun demikian, pada masa Perjanjian Baru, bangsa Yehuda kembali menjadi sangat eksklusif. Sebetulnya, itu terjadi sejak sebagian orang-orang Yehuda (atau Yahudi) kembali ke Israel dan menemukan orang-orang Samaria di sana. Siapakah orang Samaria itu? Mereka adalah keturunan campuran bangsa Israel dengan orang-orang Asyur yang dipindahkan oleh Raja ke Israel setelah sebagian bangsa Israel dibuang ke Asyur pada tahun 701 SM.

Sebagai bangsa campuran, orang Samaria dianggap najis sebab mereka tidak memiliki darah yang murni. Ketidaksukaan orang Yahudi terhadap orang Samaria ditunjukkan dengan ketidaksukaan mereka untuk bertemu dengan orang Samaria. Jikalau orang Yahudi ingin berkunjung ke wilayah utara, mereka rela untuk menghindari tanah Samaria yang ada di antara kedua wilayah Israel itu meskipun untuk itu mereka harus menempuh perjalanan yang lebih jauh.

Ketidaksukaan orang Yahudi terhadap orang Samaria bisa dilihat dari kisah Yesus bertemu dengan perempuan Samaria yang pergi ke sumur pada tengah hari setelah orang-orang Yahudi lebih dahulu pergi ke sana pada pagi hari saat udara belum terlalu panas. Namun, Yesus memperlihatkan diri-Nya terbuka untuk berhubungan dan berbincang-bincang dengan perempuan itu. Yesus juga ternyata menggunakan perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati. Yesus menunjukkan bahwa justru seorang Samaria yang mampu memperlihatkan belas kasihan, bahkan kepada orang Yahudi yang memusuhinya. Tentu perumpamaan ini sangat memukul sang ahli Taurat yang mengajukan pertanyaan kepada Yesus.

Kisah Para Rasul pasal 2 mengisahkan bagaimana orang-orang dari berbagai penjuru dunia yang berkumpul di Yerusalem kemudian menyerahkan diri mereka untuk dibaptiskan. Inilah yang menjadi model komunitas yang diharapkan Allah, komunitas yang terbuka bagi semua orang, orang yang lumpuh (Kisah Para Rasul 3:10), seseorang yang secara seksual tidak jelas sehingga disingkirkan oleh masyarakat Yahudi (sida-sida, Kisah Para Rasul 8:5-13), orang asing (Kornelius, Kisah Para Rasul 10), dan kepemimpinan perempuan (Lidia pedagang kaya, Kisah Para Rasul 16:14; Priskila, Kisah Para Rasul 18:1-7).

Keterbukaan ini semakin dipertegas oleh pekerjaan Paulus yang memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa. Bahkan dalam Surat Galatia 3:28, Paulus mengatakan, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”

McGonigal (2013) memberikan satu ulasan menarik tentang keberagaman, yang menurutnya sering diabaikan oleh para teolog maupun pemimpin gereja karena dianggap sebagai topik yang tidak penting, malah memiliki konotasi politik. Padahal, keberagaman adalah bagian yang tidak terpisahkan dari shalom, bahasa Ibrani yang sering diterjemahkan sebagai damai, namun mengandung makna keutuhan, sempurna, kemakmuran sebagai bagian dari sejak awal Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya. Secara lebih rinci, ini yang Tuhan kerjakan, mulai dari penciptaan sampai pada penyelamatan manusia.

Saat penciptaan, ada suatu urutan yang terjadi. Tuhan menciptakan langit dan bumi dan segala isinya dari yang semula tidak ada. Dimulai dengan terang yang dipisahkan dari gelap, bumi dan langit, laut dan daratan dan tumbuh-tumbuhan, matahari, bulan dan bintang-bintang, binatang baik di darat maupun di laut dan di udara, lalu manusia. Ada berbagai tumbuhan, binatang, dan dua jenis manusia, yaitu laki-laki dan perempuan. Jadi, dari penciptaan kita sudah melihat bahwa Allah menciptakan keberagaman.

Manusia dikhususkan sebagai ciptaan yang memiliki gambar dan rupa Tuhan, tetapi bukanlah Tuhan. Jadi, manusia memiliki unsur yang sama, tetapi juga berbeda dengan Tuhan. Antara laki-laki dan perempuan pun ada perbedaan yang dapat kita lihat secara fisik, tetapi juga dalam cara berpikir dan merasa. Namun keduanya sama-sama merupakan gambaran dari Tuhan. Baik manusia laki-laki maupun manusia perempuan diberikan tugas untuk mengolah bumi dan memelihara tumbuhan dan binatang sehingga memberikan hasil yang menguntungkan. Sebaliknya, menyalahgunakan kesempatan untuk mengolah ini semua malah akan membawa kepada kehancuran. Dalam hal ini, manusia harus menjalankan tugasnya dengan hati-hati karena merupakan kawan sekerja Allah.

Semua yang diciptakan Tuhan adalah baik dan indah; baik alam, tumbuhan, binatang, maupun manusia. Semuanya saling terhubung menjadi bukti bahwa ciptaan Tuhan sempurna adanya. Ada keteraturan yang kita temui di dalam ciptaan Tuhan. Ada pagi, siang, malam, dengan matahari yang selalu terbit pada waktunya. Sayangnya, kehadiran dosa merusak hubungan manusia dengan Tuhan dan merusak shalom yang dirancang Tuhan ini.

Kitab Kejadian pasal 3 melukiskan akibat dari dosa, yaitu rusaknya hubungan antara laki-laki dan perempuan (saling menyalahkan); rusaknya hubungan antara manusia dan Tuhan (manusia takut bertemu dengan Tuhan); rusaknya hubungan antara manusia dan binatang (yang diwakilkan oleh ular), dan antara manusia dan alam (manusia harus bekerja keras agar bumi memberikan hasil yang baik).

Namun Alkitab menyaksikan bahwa dari kejadian air bah di zaman Nuh, sampai dengan penyaliban dan kebangkitan Kristus, karya penyelamatan Allah terus berlangsung. Karya-Nya, baik dalam bentuk penciptaan, pemeliharaan, penyelamatan mau pun pembaruan, terus berlangsung sampai pada akhirnya, “… dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:11) dan “… mereka menyanyikan nyanyian Musa, hamba Allah, dan nyanyian Anak Domba, bunyinya, “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa!” (Wahyu 15:3).

Berdasarkan uraian di atas, jelas sekali bahwa Allah menginginkan kita hidup bersama dengan sesama kita yang berbeda-beda, baik secara etnis, suku, agama, maupun kelas sosial. Gereja diharapkan menjadi contoh bagi masyarakat seperti itu.

Komentar