Petunjuk Praktis untuk Membangun Kepekaan dan Berempati terhadap Korban Diskriminasi

Temuan ilmiah tentang menghilangkan prasangka dan diskriminasi ternyata sejalan dengan prinsip yang diterapkan Yesus saat berhadapan dengan perempuan Samaria ini. Ini tentu menguatkan keyakinan kita bahwa Alkitab betul-betul menyajikan bekal bagaimana kita menjalani hidup seperti yang Tuhan inginkan.

Berikut Petunjuk Praktis untuk Membangun Kepekaan dan Berempati terhadap Korban Diskriminasi yang dapat dilakukan menurut (Kite & Whitley, 2016; Strangor, 2016) adalah sebagai berikut:
  1. Berinteraksilah dengan mereka yang berbeda dan buktikan sendiri bahwa prasangka dan stereotip yang kita miliki tentang mereka ternyata salah. Sayangnya, belum tentu usaha ini berhasil menghilangkan prasangka sepenuhnya karena memang tidak mudah untuk membuang konsep-konsep yang sudah terlanjur terbentuk dalam benak kita dan benak mereka yang berbeda dengan kita.
  2. Melihat individu sebagai pribadi yang unik, yang berdiri utuh, bukan sekadar sebagai bagian dari kategori sosial tempat ia tergabung. Misalnya, ketika melihat seorang berkulit hitam, kita tidak menganggap orang itu pencuri, penipu (seperti biasanya stereotip yang dikenakan oleh orang kulit putih kepada orang hitam), melainkan sebagai pribadi yang perlu kita kenali sifat dan kecenderungannya.
  3. Memiliki pandangan bahwa semua orang adalah sama di hadapan Tuhan, tidak ada yang dianggap lebih istimewa daripada yang lainnya. Sejumlah hasil penelitian menemukan bahwa pandangan seperti ini justru harus ditanamkan sejak dini di dalam lingkungan keluarga (oleh orang tua kepada anak) dan lingkungan sekolah (pendidik dan seluruh perangkat pendidikan termasuk kurikulum dan pendekatan yang dilakukan). Cara ini dianggap merupakan cara yang paling jitu karena sejak kecil, anak sudah dibiasakan untuk berpikir bahwa semua orang adalah sama dan dengan demikian mereka akan memperlakukan setiap orang tanpa membeda-bedakan etnis, agama, status, dan jenis kelamin.

Kita juga mendapatkan pesan Alkitab tentang memperlakukan semua orang secara sama. Di dalam Matius 7 ayat 12 Yesus mengatakan, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Teks ini disebut sebagai golden rule, yaitu pepatah atau prinsip yang menekankan bagaimana kita harus memperlakukan semua orang sebagai sama tinggi, sama rendah, alias sederajat. Dalam hal ini, kita dituntut untuk proaktif melakukan kepada orang lain terlebih dulu apa yang kita ingin orang itu lakukan terhadap kita. Tentu saja, tidak ada orang yang menginginkan orang lain melakukan hal yang buruk pada dirinya. Ketika kita mengharapkan yang baik terjadi pada orang lain, sebetulnya hal baik itu kita harapkan terjadi juga pada diri kita sendiri. Jadi ini berperan sebagai suatu etika yang timbal balik.

Prinsip ini ternyata ditemukan dalam berbagai ajaran agama. Dalam catatan Spooner (1914), prinsip ini juga ditemukan di ajaran Konghucu (551-479 SM), Buddha, Yudaisme, Islam, Taoisme, Zoroastrianism, dan lain sebagainya. Bahkan, prinsip ini juga menjadi dasar bagi deklarasi etika yang diberlakukan bagi seluruh dunia (global ethics) (Parliaments of the World Religions, 2013). Bornstein (2002) menegaskan bahwa prinsip ini menjadi dasar bagi penerapan hak-hak asasi manusia dan orang tua harus mengajarkan prinsip ini kepada anak-anak sejak usia dini.

Dari perjalanan misi yang dilakukan oleh Joni Eareckson Tada, seorang penderita quadriplegia (orang yang tidak bisa menggerakkan anggota tubuh bagian lengan dan kaki), ada sejumlah pertemuan yang membuatnya menjadi lebih peka terhadap perubahan yang kita sebagai anak-anak Tuhan dapat lakukan untuk membuat orang-orang lain hidup dengan lebih sejahtera. Ia pernah bertemu dengan seorang anak perempuan disabilitas di India yang mengatakan padanya, “Bibi saya mengatakan bahwa saya harus mengalami delapan kali reinkarnasi sebelum saya dapat menjadi manusia yang normal (anggota tubuh lengkap) kembali.” Kemudian, Joni bertemu dengan seorang dokter, juga di India yang mengatakan, “Pada umumnya, orang tidak menganggap anak-anak penderita autis sebagai manusia.” Ketika ke Afrika, Joni bertemu dengan sekelompok ibu yang dipukuli karena mereka melahirkan anak yang buta atau mengalami cacat lainnya. Demikian pula, ada seorang pria yang menyampaikan kepadanya bahwa saudara perempuannya yang mengalami cerebral palsy ditinggalkan di hutan agar mati dimakan binatang buas. Bahkan di Asia Tenggara, Joni bertemu dengan sejumlah penderita disabilitas yang diberikan stigma sebagai kena kutuk dari dukun di desa mereka.

Di Indonesia, cukup banyak penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh keluarganya dan diasingkan jauh dari rumah keluarga. Apakah kita dapat merasakan kesedihan yang diderita oleh orang-orang yang ditolak secara sengaja? Ini sama seperti kondisi yang digambarkan oleh nabi Yesaya di dalam kitab Yesaya 59 ayat 15-16 sebagai berikut, “Dengan demikian kebenaran telah hilang, dan siapa yang menjauhi kejahatan, ia menjadi korban rampasan. Tetapi Tuhan melihatnya, dan adalah jahat di mata-Nya bahwa tidak ada hukum. Ia melihat bahwa tidak seorang pun yang tampil, dan Ia tertegun karena tidak ada yang membela. Maka tangan-Nya sendiri memberi Dia pertolongan, dan keadilan-Nyalah yang membantu Dia.”

Di luar Kristus, banyak orang menciptakan keamanan dan kenyamanan diri sendiri dengan menolak orang-orang yang berbeda dengan mereka. Dapatkah kita merasakan kerinduan Tuhan untuk meraih mereka yang tertolak, bahkan oleh keluarga mereka sendiri dan mendekap mereka erat-erat dalam cinta kasih-Nya yang menghangatkan? Biarlah kita menjadi kepanjangan tangan-Nya untuk menyampaikan kabar baik dari-Nya bahwa semua orang sama di hadapan-Nya.

Komentar