Soal dan Jawaban materi Kerajaan-Kerajaan pada Masa Hindu-Buddha – Sejarah Indonesia kelas 10 SMA/SMK

Berikut adalah soal mata pelajaran Sejarah Indonesia kelas X SMA/SMK materi Kerajaan-Kerajaan pada Masa Hindu-Buddha lengkap dengan kunci jawaban.

Soal Essay:

Sebutkan dan jelaskan kerajaan-kerajaan pada masa Hindu-Buddha dan perkembangannya

Kunci Jawaban:

Berikut beberapa kerajaan-kerajaan pada masa Hindu-Buddha dan perkembangannya:

1. Kerajaan Kutai
Keberadaan Kerajaan Kutai dipandang sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang pertama di Indonesia. Kerajaan Kutai diperkirakan terletak di daerah Muarakaman di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sungai Mahakam merupakan sungai yang cukup besar dan memiliki beberapa anak sungai. 

Daerah di sekitar tempat pertemuan antara Sungai Mahakam dengan anak sungainya diperkirakan merupakan letak Muarakaman dahulu. Sungai Mahakam dapat dilayari dari pantai sampai masuk ke Muarakaman, sehingga baik untuk perdagangan.
 
Sumber sejarah Kutai yang utama adalah prasasti yang disebut yupa, yaitu berupa batu bertulis. Yupa juga sebagai tugu peringatan dari upacara kurban. Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti Yupa ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa sanskerta. Dengan melihat bentuk hurufnya, para ahli berpendapat bahwa yupa dibuat sekitar abad ke-5 M.

2. Kerajaan Tarumanegara
Sejarah tertua yang berkaitan dengan pengendalian banjir dan sistem pengairan adalah pada masa Kerajaan Tarumanegara. Untuk mengendalikan banjir dan usaha pertanian yang diduga di wilayah Jakarta saat ini, maka Raja Purnawarman menggali Sungai Candrabaga. Setelah selesai melakukan penggalian sungai maka raja mempersembahkan 1.000 ekor lembu kepada brahmana. Berkat sungai itulah penduduk Tarumanegara menjadi makmur.

Sumber sejarah Tarumanegara yang utama adalah beberapa prasasti yang telah ditemukan. Berkaitan dengan perkembangan Kerajaan Tarumanegara, telah ditemukan tujuh buah prasasti, yaitu:
  • Prasasti Tugu
  • Prasasti Ciaruteun
  • Prasasti Kebon Kopi
  • Prasasti Muara Cianten
  • Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak)
  • Prasasti Cidanghiang (Lebak)
  • Prasasti Pasir Awi
3. Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga atau Holing, diperkirakan terletak di Jawa bagian tengah. Nama Kalingga berasal dari Kalinga, nama sebuah kerajaan di India Selatan. Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Po- li (Bali sekarang), di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra). Sementara di sebelah utara Kalingga terdapat Chen- la (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra. Oleh karena itu, lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah atau di sebelah utara Gunung Muria.

Sumber utama mengenai Kerajaan Kalingga adalah berita Cina, misalnya berita dari Dinasti T’ang. Sumber lain adalah Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Melalui berita Cina, banyak hal yang kita ketahui tentang perkembangan Kerajaan Kalingga dan kehidupan masyarakatnya. Kerajaan Kalingga berkembang kira-kira abad ke-7 sampai ke-9 M.

Kerajaan Kalingga mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan Sriwijaya yang menguasai perdagangan. Serangan tersebut mengakibatkan pemerintahan Kijen menyingkir ke Jawa bagian timur atau mundur ke pedalaman Jawa bagian tengah antara tahun 742 -755 M.

4. Kerajaan Sriwijaya
Sejak permulaan tarikh Masehi, hubungan dagang antara India dengan Kepulauan Indonesia sudah ramai. Daerah pantai timur Sumatra menjadi jalur perdagangan yang ramai dikunjungi para pedagang. Kemudian, muncul pusat-pusat perdagangan yang berkembang menjadi pusat kerajaan. Kerajaan-kerajaan kecil di pantai Sumatra bagian timur sekitar abad ke- 7, antara lain Tulangbawang, Melayu, dan Sriwijaya. Dari ketiga kerajaan itu, yang kemudian berhasil berkembang dan mencapai kejayaannya adalah Sriwijaya. Kerajaan Melayu juga sempat berkembang, dengan pusatnya di Jambi.


Pada tahun 692 M, Sriwijaya mengadakan ekspansi ke daerah sekitar Melayu. Melayu dapat ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Letak pusat Kerajaan Sriwijaya ada berbagai pendapat. Ada yang berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, ada yang berpendapat di Jambi, bahkan ada yang berpendapat di luar Indonesia. Akan tetapi, pendapat yang banyak didukung oleh para ahli, pusat Kerajaan Sriwijaya berlokasi di Palembang, di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi. Ketika pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang mulai menunjukkan kemunduran, Sriwijaya berpindah ke Jambi.

5. Kerajaan Mataram Kuno
Pada pertengahan abad ke-8 di Jawa bagian tengah berdiri sebuah kerajaan baru. Kerajaan itu kita kenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Mengenai letak dan pusat Kerajaan Mataram Kuno tepatnya belum dapat dipastikan. Ada yang menyebutkan pusat kerajaan di Medang dan terletak di Poh Pitu. 

Sementara itu letak Poh Pitu sampai sekarang belum jelas. Keberadaan lokasi kerajaan itu dapat diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungai- sungai. Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro; di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, misalnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan Bengawan Solo. Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu sampai sekitar Prambanan.

Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno dapat digunakan sumber yang berupa prasasti. Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari berita Cina.

6. Kerajaan Kediri
Kehidupan politik pada bagian awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara antara Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di Jenggala. Mereka tidak dapat hidup berdampingan. Pada tahun 1052 M terjadi peperangan perebutan kekuasaan di antara kedua belah pihak. 

Pada tahap pertama Panji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya, sehingga Panji Garasakan berkuasa. Di Jenggala kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji Garasakan. Tahun 1059 M yang memerintah adalah Samarotsaha. Akan tetapi setelah itu tidak terdengar berita mengenal Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Baru pada tahun 1104 M tampil Kerajaan Panjalu sebagai rajanya Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan ibu kotanya di Daha.

Tahun 1117 M Bameswara tampil sebagai Raja Kediri. Prasasti yang ditemukan, antara lain Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya yang penting tentang pemberian status perdikan untuk beberapa desa.

Pada tahun 1135 M tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya. Ia meninggalkan tiga prasasti penting, yakni Prasasti Hantang atau Ngantang (1135 M), Talan (1136 M) dan Prasasti Desa Jepun (1144 M). Prasasti Hantang memuat tulisan panjalu jayati, artinya panjalu menang. Hal itu untuk mengenang kemenangan Panjalu atas Jenggala. Jayabaya telah berhasil mengatasi berbagai kekacauan di kerajaan.

Di kalangan masyarakat Jawa, nama Jayabaya sangat dikenal karena adanya Ramalan atau Jangka Jayabaya. Pada masa pemerintahan Jayabaya telah digubah Kitab Baratayuda oleh Mpu Sedah dan kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh.

7. Kerajaan Singhasari
Setelah berakhirnya Kerajaan Kediri, kemudian berkembang Kerajaan Singhasari. Pusat Kerajaan Singhasari kira-kira terletak di dekat Kota Malang, Jawa Timur. Kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok. Ken Arok berhasil tampil sebagai raja, walaupun ia berasal dari kalangan rakyat biasa. Menurut kitab Pararaton, Ken Arok adalah anak seorang petani dari Desa Pangkur, di sebelah timur Gunung Kawi, daerah Malang. Ibunya bernama Ken Endok.

Ken Arok tampil sebagai raja pertama. Ken Arok sebagai raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Ken Arok memerintah selama lima tahun. Pada tahun 1227 M Ken Arok dibunuh oleh seorang pengalasan atau pesuruh dan Batil, atas perintah Anusapati. Anusapati adalah putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Jenazah Ken Arok dicandikan di Kagenengan dalam bangunan perpaduan Syiwa-Buddha. Ken Arok meninggalkan beberapa putra. Bersama Ken Umang, Ken Arok memiliki empat putra, yaitu Panji Tohjoyo, Panji Sudatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Bersama Ken Dedes, Ken Arok mempunyai putra bernama Mahesa Wongateleng.

8. Kerajaan Majapahit
Setelah Singhasari jatuh, berdirilah Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur, antara abad ke-14 - ke-15 M. Berdirinya kerajaan ini sebenarnya sudah direncanakan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya).

Ia mempunyai tugas untuk melanjutkan kemegahan Singhasari yang saat itu sudah hampir runtuh. Saat itu dengan dibantu oleh Arya Wiraraja seorang penguasa Madura, Raden Wijaya membuka hutan di wilayah yang disebut dalam kitab Pararaton sebagai “hutannya orang Trik”. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah tersebut.

9. Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali
Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang.

Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode kekuasaan Majapahit. Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain. Nama Kerajaan Buleleng semakin terkenal, terutama setelah zaman penjajahan Belanda di Bali. Pada waktu itu pernah terjadi perang rakyat Buleleng melawan Belanda.

10. Kerajaan Tulang Bawang
Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang berkenaan dengan daerah Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung- Shu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420–479). Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan Cina berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 sampai abad ke-6, seperti halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.

Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’ing- huang-yu-chi yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi). L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”. Namun, di samping itu Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat bernama Bawang (Umbul Bawang) yang sekarang terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat, yaitu di daerah Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah. Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, sejak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah batu tegak, dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi batu yang lainnya.

11. Kerajaan Kota Kapur
Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk tentang kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah itu sejak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya.

Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari batu bersama dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 Masehi. Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masing- masing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter.

Komentar